Kematian petani asal Kalimantan Selatan baru-baru ini cocok dengan pola sebelumnya, kata aktivis
Oleh Faisal Irfani.
Abah Nateh, pembela lingkungan dari Kalimantan Selatan, meninggal setelah ditusuk, dan kejadian itu memukul telak Kisworo Cahyono, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan.
Kisworo, atau akrab dipanggil Cak Kis, sudah mengenal Abah Nateh sejak sekurang-kurangnya 2017 silam. Setahun berselang, 2018, keduanya terlibat dalam upaya bersama menggugat izin PT Mantimin Coal Mining (MCM).
“Dia [Abah Nateh] bahkan ikut kami ke Jakarta, menjadi saksi di pengadilan, bersama WALHI [Wahana Lingkungan Hidup] Kalimantan Selatan, dalam rangka menggugat Menteri ESDM sehubungan dengan izin yang dikeluarkan kepada PT MCM,” kenang Cak Kis.
Cak Kis melihat sosok Abah Nateh merupakan wujud nyata dari kegigihan perjuangan kelompok masyarakat di akar rumput. Ia tegas menolak kegiatan tambang PT MCM karena ditakutkan bakal merusak ekosistem yang sudah sempoyongan beradu dengan bisnis ekstraktif.
Di tengah situasi itu, muncul PT MCM yang hendak mengkapling sekitar lebih dari 6.000 hektare ke dalam area konsesi, merentang dari Kabupaten Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah; melewati hutan sekunder, kawasan permukiman, sawah, serta aliran sungai.
Keberadaan PT MCM berpotensi merampas ruang hidup masyarakat sekitar yang mayoritas mengandalkan penghidupannya dari segala yang tersimpan di bentang Pegunungan Meratus. Di Meratus sendiri, lebih dari 4 ribu hektare lahan sudah beralih lupa menjadi pertambangan terbuka, menurut WALHI Kalsel.
Inilah yang membuat Abah Nateh melawan izin yang dikeluarkan untuk perusahaan tambang dan kemudian tergabung dalam perjuangan kolektif berskala besar. Ia diberi nama: Save Meratus.
Abah Nateh, sebagaimana penuturan Cak Kis, sehari-hari berprofesi sebagai petani. Nama aslinya ialah Arbaini. Warga setempat lantas memanggilnya dengan ‘Abah Nateh’ sebab ia dipandang menjadi tokoh lokal berpengaruh sekaligus berkontribusi.
Salah satu sumbangsih Abah Nateh yakni mengupayakan hak kelola atas tanah dalam kawasan hutan secara komunal melalui program Perhutanan Sosial (PS) dan pemberdayaan wisata desa di Batang Alai Timur.
Usaha untuk menolak tambang batu bara memerlukan waktu yang tidak sebentar dengan serangkaian proses peradilan selama lebih dari setahun. Pada 2019, izin PT MCM dibatalkan. Dengan begitu, artinya, kemenangan ada di tangan warga Meratus.
Namun, berjarak setahun berselang, PT MCM mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MA.
Mereka yang tergabung dalam aksi Save Meratus berharap MA menolak PK yang diajukan PT MCM. Harapan warga pun terpenuhi. Pada Februari 2021, MA tidak mengabulkan PK milik PT MCM.
Konsistensi yang dibawa gerakan Save Meratus, juga Abah Nateh, sepanjang tiga tahun sejak pertama kali usaha menggugat dilakukan, membuahkan hasil besar. Kelestarian lingkungan di sekitar kaki Pegunungan Meratus dapat dijaga.
Hari-hari setelahnya bergulir seperti biasa, sampai akhirnya kabar itu datang. Abah Nateh meninggal. Tewas sebab luka tusuk yang bersemayam di tubuhnya. Berita meninggalnya Abah Nateh serupa petir yang menyambar di siang bolong. Tidak ada yang menduga.
Selama menentang keberadaan perusahaan tambang batu bara, tidak sekali saja Abah Nateh memperoleh ancaman, demikian kata Cak Kis. Ketika proses gugatan masih berlangsung, misalnya, dua kali rumah Abah Nateh didatangi gerombolan tak dikenal.
Ketika kami bertanya asal-usul gerombolan itu, Cak Kis mengatakan tak pernah tahu secara pasti. Ia, juga kolektif Save Meratus, menduga kuat gerombolan ini memiliki keterkaitan dengan pihak perusahaan.
"Kami berpikir ini ada hubungannya dengan aktivitas [penolakan] Abah Nateh." Kisworo Cahyono, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan
“Soalnya ketika mereka datang, hal yang diungkapkan secara jelas adalah jangan menolak keberadaan [perusahaan] tambang,” ujar Cak Kis. “Jadi, ya, sudah, kami berpikir ini ada hubungannya dengan aktivitas [penolakan] Abah Nateh.”
Teror tidak serta merta berakhir, walaupun intensitasnya tidak sebesar kala segerombolan orang mendatangi kediaman Abah Nateh. Dalam taraf yang lebih kecil, sebagai contoh, Abah Nateh, mengutip penuturan Cak Kis, pernah bercerita bahwa ia sering merasa diikuti orang tidak dikenal.
Abah Nateh tak pernah mengungkapkan secara rinci bagaimana ia diikuti, jelas Cak Kis, lantaran tak mau terkungkung dalam belenggu ketakutan, termasuk tidak pula melaporkannya ke pihak kepolisian.
Rentetan teror tidak membuat nyali Abah Nateh menciut, apalagi terbungkam begitu saja dengan ancaman yang datang dari segala sisi. Ia tetap vokal menolak tambang dan keberaniannya kian berlapis sementara ia paham betapa risiko dari perjuangannya ini tidak sembarangan: kekerasan.
Polisi sendiri berhasil menangkap pelaku penusukan Abah Nateh dan segera menjeratnya dengan pasal penganiayaan. Mereka, di waktu yang sama, turut membuka ke publik motif pelaku: sakit hati lantaran kerap ditegur Abah Nateh perkara alkohol.
Bagi WALHI Kalsel, penyelidikan yang dilakukan kepolisian sebaiknya tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka berharap polisi dapat memberikan penelusuran seterang mungkin mengingat, menurut WALHI Kalsel, terdapat kejanggalan yang menyertai sosok pelaku pembunuhan Abah Nateh seperti fakta bahwa pelaku mendiami Nateh baru dalam hitungan bulan.
Kapolres Hulu Sungai Tengah, AKBP Pius X Febry Aceng Loda, menyatakan kematian Abah Nateh tidak ada kaitannya dengan masalah pertambangan: murni penganiayaan.
“Tidak ada hubungannya dengan masalah pertambangan seperti isu yang mengemuka di publik,” ujarnya.
Kami sudah meminta konfirmasi dan tanggapan PT MCM. Sampai laporan ini tayang, PT MCM tidak memberikan jawaban.
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, organisasi non-profit yang berfokus pada isu lingkungan, menjelaskan bahwa dalam kematian pembela lingkungan polisi seringkali menghentikan penyelidikan setelah pelaku berhasil ditangkap. Roni melihat pihak kepolisian hanya meresponsnya sebagai “tindak kekerasan biasa” yang melibatkan korban serta pelaku di tempat kejadian perkara.
Pada 2019, Golfrid Siregar, advokat dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara, tewas dengan sejumlah tanda tanya.
Mulanya, Golfrid ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri di flyover Simpang Pos, Medan, waktu dini hari. Sebelumnya, Golfrid sempat dikabarkan menghilang dan tidak dapat dihubungi. Ia kemudian meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Adam Malik setelah tiga hari menjalani perawatan intensif.
Keterangan Polda Sumatera Utara menyebut bahwa Golfrid tidak sadarkan diri diduga karena kecelakaan lalu lintas tunggal.
Tapi, WALHI Sumatera Utara menyatakan keterangan polisi tidak memuaskan dan menyebut kematian Golfrid sarat kejanggalan. Kesimpulan ini diambil setelah mereka melihat ternyata ada luka di bagian tubuh lain seperti tempurung kepala bagian depan serta hidung yang patah.
WALHI Sumatera Utara, kala itu, mengatakan kepala korban seperti habis dipukul benda tumpul dan tak ada luka sebagaimana orang bekas kecelakaan lalu lintas—lecet. Polisi sama sekali tidak menyinggung hal ini.
Sedangkan pihak RSUP Adam Malik mengungkapkan kematian Golfrid dipicu pendarahan di bagian kepala. Langkah operasi sempat diambil dan hal itu tidak membuat keadaan Golfrid membaik.
Sebelum tewas, Golfrid tengah mengadvokasi penolakan pembangunan PLTA Batang Toru. Pihak PT NSHE (North Sumatera Hydro Energy), selaku operator PLTA Batang Toru, meminta agar kematian Golfrid tidak dikaitkan dengan pembangunan PLTA, dan mengimbau publik menunggu kepastian dari kepolisian guna “menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Kami berupaya meminta konfirmasi ke NSHE mengingat polisi sudah mengeluarkan hasil penyelidikan secara resmi. Upaya kami tidak berbalas.
Pada 2021, Jurkani, advokat dari Kalimantan Selatan yang dikenal getol menolak tambang batu bara ilegal, tewas karena dibacok. Peristiwa ini terjadi tak lama usai ia meminta para penambang ilegal menghentikan aktivitasnya. Polisi berdalih terjadi salah paham antara Jurkani dan pelaku, selain mengatakan pembacokan dipicu pengaruh alkohol.
Data yang dihimpun Auriga Nusantara sejak 2018 menyebut bahwa setidaknya 12 pembela lingkungan meninggal dunia, dan kematian mereka diduga kuat terhubung dengan aktivisme yang dilakukan. Selain Golfrid dan Jurkani, mereka yang tewas antara lain Salim Kancil, Martua Siregar, hingga Arman Damopolii. Rentetan kematian ini merentang dari Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, sampai Papua.
“Ini memperlihatkan betapa rentannya posisi pembela lingkungan, atau environmental defenders, yang mencakup individu atau kelompok dan organisasi yang aktif bekerja untuk melindungi atau membela lingkungan hidup,” papar Roni.
“Karena data kami sendiri sangat mungkin jauh lebih banyak daripada yang ditampilkan mengingat pengumpulan data yang kami lakukan adalah berdasarkan sumber terbuka atau yang terekam di ruang publik.”
Roni menambahkan bentuk kekerasan kepada pembela lingkungan tak cuma penghilangan nyawa. Dalam konteks itu, situasinya tidak kalah kompleks.
Kriminalisasi menjadi bentuk serangan paling banyak yang ditujukan kepada pembela lingkungan di Indonesia, demikian mengutip laporan Auriga Nusantara. Selama 2014 sampai 2023, terdapat 82 kasus kriminalisasi yang dialami pembela lingkungan atau sekitar 62 persen dari total 133 kasus kekerasan maupun serangan yang berhasil dihimpun.
Kalau dikerucutkan dalam lingkup yang lebih spesifik, seperti masyarakat adat, kondisinya cukup memprihatinkan. Laporan tahunan AMAN berjudul Masyarakat Adat di Tahun Politik: di Tengah Hukum Represif dan Cengkeraman Oligarki (2023) memperlihatkan kekerasan dan kriminalisasi ke masyarakat adat telah memakan 247 korban pada sepanjang tahun kemarin.
Rinciannya: 204 orang luka-luka, 1 orang ditembak sampai meninggal dunia, serta setidaknya 100 rumah warga adat dihancurkan.
Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), organisasi sayap dari AMAN yang bekerja dalam pembelaan hak masyarakat adat, mengungkapkan perlindungan kepada masyarakat adat, yang mayoritas juga berperan sebagai pembela lingkungan, teramat minim.
“Semakin ke sini, masyarakat adat semakin dipinggirkan dengan kebijakan pembangunan. Ketika mereka membela, mereka rentan dikriminalisasi, mengalami kekerasan, dan dipenjarakan karena mereka membela apa yang sudah menjadi peninggalan leluhur, dalam hal ini ruang hidup,” jelas Syamsul.
Agung Wardana, pengajar hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan bahwa kekerasan maupun serangan terhadap pembela lingkungan menguat seiring agenda ekspansi kapital yang membutuhkan stabilitas agar tujuannya tercapai. Caranya, terang Agung, dengan pendisiplinan. Pendekatan ini diambil setelah upaya sosialisasi dan pemberian CSR (Corporate Social Responsibility) tidak menarik persetujuan masyarakat.
“Pendisiplinan di sini berbentuk intimidasi, kekerasan secara langsung seperti penculikan atau bahkan pembunuhan, hingga menggunakan sistem hukum yang ada dalam bentuk pengadilan. Tujuannya apa? Agar membuat masyarakat mau mengikuti agenda-agenda pemerintah maupun perusahaan,” terang Agung.
Awal September lalu, pemerintah mengeluarkan aturan perlindungan terhadap pembela lingkungan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024. Salah satu poin dalam regulasi menyatakan bahwa pembela lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengungkapkan aturan ini datang di saat tepat ketika banyak pembela lingkungan di Indonesia dikriminalisasi. Akan tetapi, ia turut mengingatkan celah untuk menjerat pembela lingkungan tidak serta merta sirna.
Di luar sosok yang resisten terhadap kerusakan ekosistem, Cak Kis mengenang Abah Nateh sebagai orang yang begitu bersahabat.
Hal yang melekat dalam ingatan Cak Kis tentang sikap yang bersahabat ini adalah bagaimana Abah Nateh selalu berupaya memastikan teman-temannya tidak pulang dengan kondisi perut kosong ketika tengah berkunjung ke rumahnya.
“Pokoknya dia selalu memaksa untuk makan dulu. Jangan sampai pulang dari sini [rumah Abah Nateh] perut masih lapar. Tidak boleh,” Cak Kis mengingat sembari tertawa.
“Walaupun saya dan juga teman-teman sebetulnya tahu kalau bahan makanan di rumah Abah Nateh hanya cukup buat keluarga, bukan orang banyak. Tapi, Abah Nateh selalu berusaha menjamu tamunya dengan sangat baik. Dia selalu seperti itu.”
Cak Kis mengungkapkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan lingkungan di Pegunungan Meratus bakal terus berlanjut, dengan membawa semangat sekaligus konsistensi seperti yang sudah ditunjukkan oleh Abah Nateh.
Cak Kis, di waktu yang sama, menyadari jalan untuk melindungi ekosistem alam tak pernah mudah, dengan segala bentuk serangan serta kriminalisasi. Akan tetapi, ia tak ingin menyerah.
“Saya belajar dari Abah Nateh bahwa menjaga kelestarian alam ini merupakan bentuk kewajiban kita. Kadang lelah, kadang takut. Namun, setelahnya bangun lagi buat berjuang,” katanya.
Grafis oleh Hendra Afrians; foto oleh WALHI Kalsel.