Temuan utama
- Investigasi The Gecko Project mengungkap sebuah proyek perkebunan hutan tanaman industri (HTI) di Tanah Papua telah menghancurkan ribuan hektare hutan alam dan merusak sumber pangan tradisional masyarakat adat setempat.
- Proyek itu sempat terhenti pada 2014 karena krisis keuangan, tapi dilanjutkan kembali setelah mendapatkan pembiayaan jutaan dolar dari dua lembaga nasional yang diberikan mandat mendukung komitmen pemerintah Indonesia mengatasi perubahan iklim.
- Pembiayaan itu menunjukkan kontradiksi dua pilar strategi pemerintah Indonesia menghadapi krisis iklim: Ingin melindungi hutannya tapi, saat yang sama, mengurangi penggunaan batubara dengan meningkatkan pembangkit listrik berbahan bakar kayu.
- Foto oleh Albertus Vembrianto.
Gelontoran dana puluhan miliar rupiah guna membantu Indonesia mengurangi emisi karbon malah dipakai untuk membiayai sebuah proyek yang menghancurkan hutan alam di Papua, salah satu bentang alam keanekaragaman hayati terkaya di dunia.
Dana tersebut dipakai untuk membantu sebuah konglomerasi perusahaan energi, Medco Group, membangun pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan bahan bakar kayu.
Medco telah membongkar area cukup luas hutan alam Papua untuk membangun perkebunan HTI. Dan, dengan dukungan pembiayaan “hijau” itu, perusahaan berencana memperluas perkebunannya sekurangnya seluas 2.500 ha dan membongkar lebih banyak lagi hutan alam.
Proyek ini telah menyasar tanah ulayat orang Marind, yang bermukim di dataran rendah Papua yang menggantungkan hidup dengan berburu dan meramu.
Investigasi The Gecko Project mengungkap perkebunan HTI Medco telah merusak sumber pangan tradisional orang Marind. Menurut mereka, penggundulan hutan telah menyulitkan mereka berburu.
Keluarga-keluarga yang tinggal di sebuah kampung bernama Zanegi, terletak di sekitar perkebunan HTI Medco, kini terpaksa cuma memakan nasi tanpa lauk. Berdasarkan data yang terhimpun tahun 2022, sepertiga anak yang diperiksa petugas kesehatan di Puskesmas pembantu di Zanegi menderita gangguan perkembangan akibat kurang mengonsumsi makanan bergizi.
PLTBm Medco mendapatkan gelontoran dana hampir Rp65 miliar dari sebuah perusahaan milik negara (BUMN) yang mengeklaim pembangkit listrik itu mendukung komitmen Indonesia mengatasi perubahan iklim lewat peningkatan energi baru dan terbarukan (EBT).
Namun, sebagian besar area yang disasar Medco mencakup hutan hujan primer dan rawa-rawa di Papua, padahal pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi kawasan hijau seperti ini demi upaya membendung pesatnya laju emisi karbon.
Medco juga menerima aliran uang dari sebuah lembaga negara penyalur dana dukungan internasional untuk membantu Indonesia mengurangi emisi karbon.
Dengan mendukung proyek Medco di Papua, berarti rencana pemerintah menanggulangi darurat iklim tidak konsisten. Di satu sisi, pemerintah berkomitmen melindungi hutan dan lahan gambut setelah puluhan tahun mengalami deforestasi gila-gilaan hingga negara ini jadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
Di sisi lain, pemerintah ingin mengurangi penggunaan batubara dengan meningkatkan pembangkit listrik berbahan bakar kayu.
Para aktivis menengarai pembangunan PLTBm di Indonesia bakal membutuhkan area sangat luas hutan tanaman energi guna memenuhi pasokan bahan bakar. Pembangunan hutan energi secara besar-besaran bisa berdampak penghancuran hutan alam untuk ditanami jenis pohon monokultur yang bisa tumbuh cepat.
“(Soal PLTBm) ini kita memang tidak sepakat dari awal,” ujar Yuyun Indradi, Direktur Trend Asia, organisasi sipil yang fokus memantau kebijakan energi pemerintah Indonesia. “Sumber keanekaragaman hayati Indonesia akan tergerus dengan berkembang pesatnya tanaman monokultur.”
Dana besar dari donor internasional digelontorkan ke Indonesia selama beberapa tahun terakhir, yang bertujuan membantu melindungi hutan dan lahan gambut.
Demi mencapai tujuan tersebut, tahun lalu saja, lembaga program pembangunan PBB dan Pemerintah Norwegia menyalurkan lebih dari 100 juta dolar atau setara Rp800 miliar kepada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), lembaga pemerintah di bawah Kementerian Keuangan. Lembaga ini menyuntikkan dana untuk pembangunan PLTBm Medco di Merauke.
Artinya, BPDLH dipakai untuk membiayai upaya-upaya konservasi hutan tapi juga proyek yang mengakibatkan deforestasi. Ini menggambarkan kontradiksi dalam kebijakan pemerintah Indonesia.
Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana BPDLH, Endah Tri Kurniawaty, menegaskan dana internasional untuk perubahan iklim hanya akan digunakan sesuai mandat dari donor. Sementara dukungan dana untuk Medco, katanya, telah disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan penggunaannya sudah tepat sasaran.
“Cuma Tulang-Tulang buat Dimakan”
Proyek Medco dimulai pada akhir 2000-an, bagian dari program raksasa pemerintah Indonesia saat itu yang ingin menjadikan Papua Selatan sebagai sumber pangan dan energi, dikenal Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Rencana awal perusahaan adalah mengembangkan perkebunan HTI skala luas untuk menghasilkan serpihan kayu atau wood chip untuk diekspor.
Medco memperoleh izin membangun perkebunan HTI seluas hampir 170.000 ha di lahan yang tumpang tindih dengan tanah ulayat orang Marind yang mendiami Kampung Zanegi. Orang Marind mengandalkan makanan pokok dengan berburu, menangkap ikan, dan menokok sagu di hutan dan rawa sebelah utara Zanegi.
Zanegi terletak di jantung kawasan TransFly. Ini sebuah bentang alam yang digambarkan World Wild Fund For Nature (WWF) sebagai “mustika alam Asia-Pasifik”. Wilayah ini bentang mosaik hijau lahan basah, padang rumput, dan hutan; rumah bagi ratusan spesies burung termasuk Cenderawasih yang ikonik dari Tanah Papua.
Bruce Beehler, ahli biologi yang banyak meriset burung di Papua, menggambarkan TransFly sebagai kawasan dengan “keanekaragaman hayati luar biasa kaya” dan “bersemarak jenis margasatwanya”.
Sebelum pembongkaran hutan, warga kampung Zanegi sangat mudah mendapatkan makanan yang hanya beberapa langkah dari rumah, cerita mereka kepada kami. Burung kasuari, jenis burung seperti kalkun yang tidak bisa terbang, mudah dijumpai di sekitar pekarangan rumah. Babi hutan dan kanguru biasa berkeliaran di sekitaran kampung. Rawa-rawa pun berlimpah ikan.
Meski begitu, sebagian penduduk menyambut gembira kedatangan Medco. Perusahaan ini meredakan kekhawatiran warga soal dampak buruk proyek perkebunannya dengan membagikan uang tunai dalam jumlah besar serta makanan gratis dan mengobral janji meyakinkan nan menggoda.
Menurut beberapa warga yang kami wawancarai, serta berdasarkan dokumen yang didapatkan Majalah Tempo pada 2012, orang Marind dijanjikan pekerjaan, beasiswa untuk pendidikan anak-anaknya, gedung sekolah baru, gereja, dan fasilitas kesehatan.
Medco juga meneken perjanjian tertulis pada 2009 yang memuat komitmennya melindungi tempat-tempat suci, tempat pelestarian adat, tempat berburu, dan apa yang disebut Medco sebagai “tempat-tempat dianggap penting lain oleh masyarakat.”
“Awal-awal itu perusahaan dianggap bagus karena libatkan mayarakat semua dalam pekerjaan,” kata Amandus Gebze, laki-laki Marind, ayah sembilan anak.
Tetapi, setelah beberapa tahun, warga kampung dipecat. Mereka tidak mendapatkan penghasilan tetap lagi dari Medco.
Ketika kami bertanya mengapa para warga yang menjadi karyawan dipecat, dalam keterangan tertulisnya, Medco awalnya menjelaskan pembukaan hutan berhenti pada 2014 karena perusahaan merugi. Kemudian, Medco menambahkan tidak lagi mempekerjakan karyawan secara langsung dan beralih ke kerja sama melalui “kontraktor atau pihak ketiga”.
Perusahaan menyatakan warga kampung dipecat karena mereka gagal “mematuhi aturan perusahaan” dan “sering tidak hadir/mangkir” sehingga bisa dianggap mengundurkan diri.
Sebagian warga kampung kembali berburu dan mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Namun, cukup luas area hutan di utara kampung telah dibongkar untuk dijadikan hutan tanaman energi.
Sembilan warga yang kami wawancarai berkata makin susah mendapatkan makanan dari hutan. Mereka harus berburu lebih jauh hingga ke Sungai Bian, sekitar 15 kilometer dari perkampungan. Butuh beberapa hari bagi warga hanya untuk berburu, itu pun belum tentu ada hasil.
Kalaupun berhasil menangkap kasuari atau rusa, dua hewan endemik yang dulunya melimpah, dagingnya akan dijual, kata Amandus. “Tulang-tulangnya buat dimakan di rumah, direbus.”
Warga Zanegi menyatakan pembangunan perkebunan HTI Medco telah mencemari dusun sagu dan rawa-rawa di sekitar kampung, tempat mereka biasanya mencari ikan. Meski dusun sagu tidak dibongkar perusahaan, lumpur dan bahan-bahan kimia yang mengalir dari hutan di sekitarnya yang dibongkar telah mencemarinya, ujar warga.
Memang masih ada pekerjaan terkait usaha perkebunan Medco yang bisa dikerjakan warga. Beberapa keluarga yang kami wawancarai kini sehari-hari memulung leles, yakni potongan dahan dan ranting sisa tebangan hutan, untuk dijual ke perusahaan.
Mereka memungut kayu leles secara berkelompok dengan mengajak seluruh anggota keluarga termasuk anak-anaknya. Kayu leles yang terkumpul dibeli oleh perusahaan seharga sekitar Rp85.000/meter kubik.
Menurut Medco, warga kampung lebih cocok kerja tidak tetap seperti memulung leles. Dengan kerja leles dan “penebangan mandiri,” menurut Medco, “masyarakat sekitar bisa mengatur waktu dan penghasilan sesuai kemampuannya.”
Dari keterangan Medco, pihaknya punya standar aturan kerja tertulis yang melarang pekerja anak, termasuk dalam skema “swakelola kayu leles”, tetapi orang Marind melanggar ketentuan dalam “kesepakatan kerja” yang melarang mempekerjakan anak. “Itu merupakan budaya mereka yang selalu membawa keluarganya ke mana pun, entah untuk berburu atau kegiatan lain,” tulis Medco.
Dengan uang tunai dari penjualan hasil buruan atau kayu leles, ditambah bantuan pemerintah, warga biasa membeli bahan pangan yang dibawa pedagang dari luar dengan pikap ke Zanegi. Dari pantauan reporter kami, harga bahan pangan ini lebih mahal ketimbang harga di supermarket di Jakarta sekalipun.
Tanpa penghasilan yang tetap dan menyusutnya sumber pangan tradisional, penduduk Zanegi berkata kini terbiasa makan nasi kosong alias nasi tanpa lauk.
Suatu hari pada April 2022, reporter kami mengamati Amandus Gebze, istri, dan enam anaknya sarapan nasi dengan dua bungkus mi instan.
Keluarga lain di Zanegi kadang menaburi nasi dengan lada agar lebih berasa. Keluarga lain mengguyur nasi dengan air garam atau sambil minum banyak air agar nasi mudah ditelan.
“[Makan] nasi dengan air saja,” kata Blandina Balagaize, ibu enam anak, ketika ditanya tentang pola makan keluarganya.
Dering peringatan bahwa proyek perkebunan Medco menghancurkan kedaulatan pangan orang Marind sudah disuarakan sejak dini. Rekaman wawancara warga kampung dengan sebuah organisasi sipil setempat pada 2010 menunjukkan warga mulai khawatir atas dampak penggundulan hutan terhadap dusun sagu dan tempat berburu mereka.
Sebuah film dokumentertentang Zanegi yang dirilis 2012 merekam seorang bidan sedang menimbang seorang bayi yang sangat kurus bernama Herlina. Si bidan memperingatkan bayi itu kurang gizi. Menurutnya, kasus gizi buruk di Zanegi meningkat tajam.
Awal 2012, beberapa bulan setelah film itu dibuat, Herlina meninggal di sebuah rumah sakit di Kota Merauke.
“Kita marah betul,” kata mamanya, Persila Samkakai, kepada kami. “Anak pertama itu. Kenapa jadi begitu?”
Setahun kemudian, Forest Peoples Programme (FPP), organisasi sipil asal Inggris yang aktif menyuarakan hak-hak masyarakat adat, memperingatkan penyakit dan gizi buruk “merajalela” di Zanegi; lima anak telah meninggal sepanjang tahun 2013 saja. FPP menyatakan ada “bukti kuat kelangkaan pangan yang dihadapi masyarakat setempat adalah dampak dari hilangnya tanah ulayat dan sumber makanan karena masuknya investor”.
Medco menyatakan sudah mengirimkan tim ke Zanegi untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan tersebut. “Dari hasil investigasi, tidak ditemukan ada pencemaran akibat aktivitas perusahaan di sumber air dan rawa di kampung Zanegi,” kata Medco dalam jawaban tertulis.
Meski demikian, gizi buruk tetap menghantui Kampung Zanegi.
Dalam wawancara dengan reporter kami pada April 2022, bidan dan mantri yang bertugas di Zanegi mengatakan ada empat anak mengalami tengkes (stunting)—postur tubuhnya lebih pendek dari anak-anak seusianya. Ini indikasi gangguan perkembangan karena kurang asupan makanan bergizi. Sementara delapan ibu hamil menderita kekurangan energi kronis akibat malanutrisi yang membahayakan ibu dan bayi dalam kandungan.
Data yang diperoleh harian Kompas pada Agustus 2022 menunjukkan jumlah anak tengkes melonjak hingga 14 orang, sekitar sepertiga dari semua anak balita yang diukur petugas kesehatan di Puskesmas pembantu di Zanegi.
Sembilan anak kurang gizi dilaporkan meninggal sejak 2012, termasuk Herlina. Kompas melaporkan ada keluarga yang kehilangan tiga anak akibat gizi buruk kurun 2019-2021.
Medco menyangkal kaitan antara tingginya kasus-kasus gizi buruk dan proyek perkebunannya. “Operasi Medco Papua tidak menyebabkan ada malanutrisi. Tidak ada sumber pangan masyarakat yang terganggu,” tulisnya.
Meski begitu, Medco berkata bahwa “tuduhan tentang malanutrisi yang disampaikan The Gecko Project perlu penyelidikan lebih lanjut”.
Medco juga membantah membuat janji-janji kepada masyarakat Zanegi di luar kesepakatan tertulis bahwa mereka harus melindungi sumber pangan dan tempat-tempat penting lain. Perusahaan ini berkukuh telah berupaya membantu memperbaiki kehidupan masyarakat setempat sekalipun proyeknya telah merugi selama lebih dari satu dasawarsa.
Menurut Medco, karena kekurangan dana, proyek perkebunannya terbatas di lahan seluas 3.000 ha. Ini terkonfirmasi lewat citra satelit yang menunjukkan pembongkaran hutan besar-besaran di sekitar Zanegi pada 2010 yang berhenti pada 2014.
Namun, proyek gagal Medco mendapat napas baru dari pemerintah Indonesia pada 2017.
Pemerintah menyuntik dana untuk membantu Medco membangun PLTBm di Merauke, sementara Perusahaan Listrik Negara (PLN) sepakat membeli sumber energi yang akan diproduksi Medco.
Kesepakatan bisnis dengan PLN serta dukungan pembiayaan senilai jutaan dolar dari pemerintah ini membuat Medco tidak perlu mengekspor lagi serpihan kayu ke luar negeri.
Citra satelit menunjukkan PLTBm Medco, yang berlokasi 20 kilometer di sebelah tenggara Zanegi, sudah ada sejak akhir 2018. Selain itu, pembongkaran hutan oleh Medco di sebelah utara Zanegi dimulai pada 2021.
Pembiayaan “Hijau”
Dana pertama dari pemerintah disalurkan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), sebuah perusahaan BUMN di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam dokumen perusahaan yang kami dapatkan, SMI menyalurkan Rp60 miliar pada 2017 untuk “pembiayaan proyek” PLTBm Medco.
SMI semula didirikan pada 2009 untuk menyalurkan pembiayaan proyek infrastruktur. Lembaga ini lantas semakin berfokus membantu pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya mengatasi perubahan iklim. Laporan perusahaan tahun 2017 menyatakan PLTBm Medco bisa membantu Indonesia mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sementara itu, dalam sebuah presentasi pada 2020, seorang direktur SMI menyebut proyek PLTBm Medco adalah contoh “pembiayaan yang berkontribusi membantu mitigasi perubahan iklim”.
SDGs adalah serangkaian target yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015, yang bertujuan menjaga kualitas lingkungan hidup dan mengakhiri kelaparan dan kemiskinan. Namun, saat SMI meneken perjanjian dengan Medco, sejumlah organisasi masyarakat sipil sudah mengkritisi proyek tersebut berdampak buruk terhadap kedaulatan pangan orang Marind.
PT SMI menolak diwawancarai maupun memberi pernyataan tertulis untuk menjelaskan bagaimana pembiayaan yang diberikan untuk proyek PLTBm Medco sejalan dengan target SDGs dan upaya apa saja yang telah dilakukan untuk mencegah risiko dan ancaman atas kualitas kehidupan orang Marind.
Dalam sebuah webinar pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Medco mengumumkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) memberikan dana untuk operasi Medco di Merauke. Menurut Kepala Operasi Medco Energi, Budi Basuki, total dana yang diterima perusahaan mencapai Rp140 miliar.
BPDLH dibentuk pada 2019 sebagai penyalur dana investasi untuk perlindungan lingkungan. Keterlibatannya dalam membiayai proyek PLTBm Medco sangat mengejutkan karena lembaga ini juga ditugaskan menyalurkan dana puluhan juta dolar dari Pemerintah Norwegia atas “jasa” Indonesia mengurangi laju deforestasi.
Pada 2022, Pemerintah Norwegia menyalurkan 56 juta dolar atau lebih dari Rp800 miliar kepada BPDLH. Ini setelah pemerintah Indonesia mengeklaim berhasil menurunkan laju deforestasi. Beberapa donor internasional lain, termasuk lembaga bantuan pembangunan Amerika Serikat (USAID) dan Bank Dunia, juga berkomitmen memberikan bantuan dana untuk Indonesia mengurangi emisi karbon lewat upaya mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan.
Medco sudah membongkar seluas hampir 3.000 ha hutan adat untuk perkebunan HTI sebelum mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Pihak perusahaan menyatakan bakal memperluas perkebunannya hampir dua kali lipat untuk menyokong kebutuhan produksi PLTBm. Perusahaan berkata bahan bakar kayu dari hutan itu akan dipakai untuk pembangkit biomassa miliknya.
Perusahaan berencana melipatgandakan kapasitas PLTBm, yang buntutnya meningkatkan kebutuhan lahan dan kayu.
Peta pemerintah menunjukkan per 2012, cukup luas area hutan konsesi Medco yang masih utuh. Ada hutan primer dan rawa-rawa. Analisis citra satelit kami menunjukkan area itu masih lestari. Bentang alam ini menyimpan banyak karbon yang akan hancur bila hutannya dibongkar.
Endah Tri Kurniawaty dari BPDLH mengungkapkan areal konsesi Medco di Merauke itu telah ditetapkan sebagai “hutan produksi” sehingga “sah” untuk dibabat dan diganti menjadi perkebunan HTI. “Dan dari peraturan perundangan yang ada, itu sah, boleh mereka melakukan itu,” tandasnya.
Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia, dalam keterangan tertulis kepada kami, menolak menanggapi tentang dukungan dana yang diberikan untuk PLTBm Medco. “Kami merasa tidak sepantasnya pemerintah Norwegia menanggapi proyek yang tidak terkait dengan kontribusi Norwegia.”
Pihak kementerian Norwegia menjelaskan dana mereka yang diberikan itu hanya akan digunakan untuk “mendukung” kegiatan-kegiatan “prioritas” yang disepakati kedua negara. Ia menambahkan BPDLH “sudah memiliki Kerangka Perlindungan Lingkungan dan Sosial yang komprehensif”.
Endah berkata kerangka perlindungan BPDLH yang dimaksud seharusnya terbuka untuk publik.
Namun, saat kami meminta isi panduan tersebut, divisi yang bertanggung jawab menyiapkan kerangka kerja perlindungan lingkungan dan sosial di BPDLH menolak membagikan dokumen itu.
Co-firing
Berbagai kebijakan yang diumumkan pemerintah Indonesia selama setahun terakhir mengisyaratkan dukungannya kepada proyek PTLBm Medco bukanlah penyimpangan.
Demi mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah Indonesia perlu segera menghentikan sumber energi terbesarnya yakni penggunaan batubara. Alih-alih memensiunkan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, pemerintah berencana tetap melanjutkan dengan metode mencampur bahan bakar fosil dengan biomassa lewat “co-firing”. Pada Juni 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan “co-firing” batubara dan biomassa adalah strategi utama pemerintah untuk mengurangi emisi batubara.
PTLBm Medco di Merauke memang terbilang kecil dibandingkan pembangkit-pembangkit listrik besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi, puluhan pembangkit ini juga membakar biomassa. PLN tahun lalu mengumumkan rencana meningkatkan empat kali lipat penggunaan biomassa hingga mencapai 2,2 juta ton pada 2023, dengan target 10,2 juta ton untuk 52 PLTU batubara pada 2025.
Menurut PLN, mayoritas penggunaan biomassa tahun lalu dipasok dari limbah seperti serbuk gergaji, tandan kosong sawit, sekam padi, dan sampah. Namun, demi memenuhi kebutuhan biomassa dalam jumlah besar, PLN membutuhkan hutan tanaman energi.
KLHK menyatakan dukungannya atas program “co-firing”. Pada KTT Iklim di Mesir November 2022, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto, mengatakan program ini bakal “mempromosikan hutan tanaman untuk pengembangan energi” dan bisa memanfaatkan lebih dari 1 juta ha “hutan produksi”.
Trend Asia, lembaga nirlaba yang memantau kebijakan tersebut, memperkirakan demi memenuhi pasokan biomassa, butuh sedikitnya 2,3 juta ha lahan dikonversi menjadi perkebunan tanaman—setara empat kali lipat luas Jabodetabek. Risikonya, ujar Trend Asia, deforestasi semakin terbuka.
KLHK menyatakan hutan tanaman energi saat ini bisa memanfaatkan lahan yang “rusak” dan “tidak produktif”. Akan tetapi, perkebunan tanaman energi bisa saja ditanam di lahan hutan alam, sebagaimana terjadi pada proyek PLTBm Medco. Ujung-ujungnya menguntungkan investor karena mendapatkan pasokan kayu alam yang melimpah sebelum mengembangkan pohon tanaman energi.
“Secara teori, penggunaan biomassa bisa dibilang renewable, _sementara praktiknya tidak menunjukkan bahwa itu _renewable,” kata Yuyun Indradi dari Trend Asia. “Karena pengalaman kita dengan pembangunan HTI, itu menjadi salah satu driver (pendorong) deforestasi utama di Indonesia. Jadi kekhawatiran bahwa HTI ini akan memicu deforestasi lebih tinggi lagi di Indonesia—itu akan sangat mungkin terjadi.”
“Tidak Ada Harapan”
Kebijakan pemerintah, serta keinginan perusahaan, yang dibuat ribuan kilometer jauhnya telah mengubah kehidupan orang Marind di Zanegi selama lebih dari satu dekade.
Pada suatu hari bulan April 2022, Natalia Mahuze, istri Amandus Gebze, dan anak lelakinya bernama Efrem berdiri tanpa alas kaki di bawah naungan pohon di Zanegi. Natalia menggendong anak lelakinya berusia 9 bulan, sementara tangan kirinya terus memegangi Efrem yang berumur 3 tahun.
Tiga ibu hamil bergabung dengan mereka lalu saling mengobrol. Mereka menunggu bidan kampung keluar dari rumahnya, yang juga dijadikan bangunan Puskesmas pembantu. Bangunan itu putih kusam berlumpur.
Bidan kampung muncul dengan membawa timbangan digital pengukur berat badan. Ia memanggil nama Efrem. Natalia menuntun anaknya ke timbangan: 10,7 kilogram, sekitar dua pertiga dari bobot rata-rata anak sesuainya. Bidan mengukur tinggi badan dan ukuran kepala Efrem dengan meteran dan mencatatkan hasilnya di buku Kesehatan Ibu dan Anak.
Bidan memberi sebungkus biskuit kepada Efrem sebagai makanan tambahan, kemudian memotret Efrem memegang bingkisan makanan itu dengan ponselnya. Ia memberikan sebungkus biskuit lagi kepada Mama Efrem.
“Mace jangan kasih [biskuitnya ke] yang lain, ya. Buat dia saja,” katanya.
Efrem lahir tidak lama setelah Medco menyelesaikan konstruksi pembangkit listrik tenaga biomassa di Merauke.
“Dulu [kehidupan kita] itu masih bagus,” kenang Natalia. “Sekarang sudah susah-susah begitu.”
Suaminya, Amandus, yang dulu berharap pada proyek Medco, meragukan kehadiran perusahaan bisa membawa kebaikan untuk keluarganya.
“Kalau dia [Medco] mau bangun masyarakat, berarti masyarakat harus kasih lagi wilayah untuk dia buka,” ujarnya. “Jadi kita harus kasih dia lagi tanah, baru (apakah) ada harapan lagi (bahwa) kita akan dia perhatikan? Tidak ada harapan.”