I. Pertarungan dimulai
Hujan turun deras pada malam itu pada Agustus 2013, ketika seorang mahasiswa bernama Collin Leppuy, tiba-tiba muncul di hadapan rumah Pendeta Jacky Manuputty di Ambon, Maluku. Kehadiran Collin bukanlah tanpa maksud. Dia hendak meminta bantuan. Kampung halamannya sedang terancam.
Collin, saat itu berusia 23 tahun. Di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, provinsi di bagian timur Indonesia itu, dia lahir dan besar. Aru sendiri merupakan kawasan dengan bentang alam unik dari perpaduan hutan, sabana, dan bakau. Kala itu, Collin tengah menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) di Ambon. Di kota itu, dia mengorganisir aksi unjuk rasa terhadap seorang politisi korup yang berkuasa di Aru selama hampir satu dekade.
Bupati Theddy Tengko, yang meraup puluhan miliar uang dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sempat kabur untuk melarikan diri. Dia akhirnya tertangkap jaksa di Bandara Rar Gwamar, Aru. Tentu saja, Collin punya rasa bangga atas hasil perjuangannya. Dari situlah, dia menyadari, ternyata ada bahaya lain yang mengintai Aru sebagai bagian dari ulah si bupati sebelum dibui.
Selama beberapa dekade, Aru luput dari perhatian perusahaan-perusahaan pembabat hutan Indonesia. Ketika hutan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, kian menyusut, mereka sebetulnya sudah bergerak ke kawasan timur Indonesia untuk menguras “emas hijau” dan membangun lahan-lahan perkebunan. Saat ini, Aru berada dalam cengkeraman perusahaan bernama Menara Group. Sebelum pemecatannya, Theddy menyetujui rencana Menara Group untuk mengubah dua pertiga wilayah Aru menjadi lumbung gula. Jika proyek itu terus berjalan, perusahaan akan mampu meraup triliunan uang dari hasil penebangan hutan dan perkebunan tebu yang mungkin saja terbesar di dunia.
Sisi lain, proyek ini akan pula menghancurkan mata pencaharian dan persediaan makanan dari puluhan ribu warga di Kepulauan Aru, termasuk keluarga, kerabat, dan teman Collin. Habitat satwa liar pun akan ikut hancur di mana Kepulauan Aru merupakan rumah bagi berbagai flora dan fauna khas, seperti burung cenderawasih yang menjadi identitas masyarakat Aru.
Malam itu, Jacky mempersilakan Collin bertamu di rumahnya. Pria dengan rambut hitam keriting, kumis tebal, dan sikap yang lembut, namun tegas itu, mempunyai posisi penting di Gereja Protestan Maluku (GPM). GPM sendiri memiliki lebih dari 700 paroki dan Jacky yang berusia di akhir 40-an itu, menjabat sebagai Direktur Badan Penelitian dan Pengembangan GPM. Saat muda, Jacky pernah terinspirasi oleh ide teologi pembebasan, sebuah gerakan Kristen untuk membantu masyarakat miskin dan tertindas di Amerika Latin. Jacky pun punya pengalaman puluhan tahun membantu perjuangan masyarakat di desa-desa di bagian timur Indonesia dalam melawan perusahaan-perusahaan ekstraktif. Kini, Collin memintanya melakukan hal sama untuk masyarakat di Kepulauan Aru.
Jacky tahu harus selalu berwaspada. Dia memahami risiko maupun hal buruk yang bisa dialami oleh kelompok masyarakat adat yang menentang proyek-proyek yang didukung pemerintah. Di tempatnya berasal di Pulau Haruku,- di seberang Ambon — masyarakat bahkan terpecah belah ketika perusahaan pertambangan menginjakkan kaki di sana. Perlawanan terhadap proyek perusahaan dan bentrokan antar-desa yang bertetangga, tak terhindarkan dan kekerasan terjadi di mana-mana.
Kelompok yang mendukung Jacky mencoba menempuh jalur hukum melawan perusahaan, namun konflik justru mencapai puncak ketika penduduk membakar kamp perusahaan yang berada di hutan. Dia pun mulai bertanya-tanya, apakah masyarakat di Kepulauan Aru bisa kuat bersatu menentang proyek tebu atau justru malah terjerat dalam situasi di luar kendali.
Pada malam berguyur hujan itulah, Jacky dan Collin, menyusun rencana. Mereka hendak mengundang para mahasiswa Aru di Ambon pada aksi solidaritas dengan menyalakan lilin. Collin pun mengumpulkan teman-teman di ruang kelas kampusnya, Jacky akan memimpin doa bersama. Kemudian, mereka semua akan membahas cara-cara terbaik untuk melanjutkan perlawanan.
Malam berikutnya, Collin tiba dengan belasan mahasiswa. Jacky memimpin doa. Di sela-sela itu, para pemuda bertanya padanya apakah mereka boleh menyanyikan lagu daerah yang menceritakan asal usul orang Aru. Pendeta itu mengiyakan. Dia menyimak lantunan lirik lagu yang berkisah tentang pertikaian dua saudara memperebutkan tombak emas yang punya kekuatan gaib untuk menangkap ikan.
Perselisihan itu pun membuat Tuhan murka dengan ada gempa dan gelombang pasang nan hebat. Pulau yang menjadi tempat tinggal keduanya pun terbelah dua. Bencana itu memaksa penduduk pergi berlayar ke kepulauan yang kini dikenal dengan Aru.
Tiba-tiba, Jacky memotong nyanyian mereka. Lagu itu memiliki makna mendalam, tetapi para pemuda menyanyikan seolah-olah mereka malu dengan sejarah leluhur mereka. Baginya, lagu itu seperti mempunyai jiwa. Itulah yang mereka perlukan untuk membakar semangat kalau hendak melawan kekuatan besar yang mengancam Aru.
“Jangan mulai perjuangan ini kalau tidak bangga dengan identitas sebagai orang Aru,” kata Jacky. “Jika kalian tak bangga, perusahaan akan datang dan membayar kalian. Lalu, memecah belah kalian.” Dia menyerukan lagi kepada para pemuda dengan berkata, “Nyanyikan lagi! Lebih bersemangat dari kalian menyanyikan lagu nasional.”
Mereka pun bernyanyi kembali. Kali ini, dengan lebih keras dari sebelumnya.
Kemudian, di penghujung malam itu, mereka menulis dua kata di atas kertas: “SOS ARU.”
Selama beberapa bulan ke depan, pesan itu dan pesan-pesan lain serupa, menjadi seruan yang menumbuhkan gerakan rakyat yang bergema dari Aru hingga ke ibu kota provinsi di Ambon, bahkan Jakarta juga mancanegara.
Gelombang perlawanan di kalangan akar rumput itu menyertakan semua kalangan, baik lelaki maupun perempuan dari berbagai usia, tokoh adat, serta orang-orang dari luar Aru. Para pendukung di seluruh dunia juga tak ketinggalan untuk mengambil peran.
Visi “pembangunan” sedang berada dalam pertaruhan. Perusahaan bersama para pejabat dan politisi yang mendukungnya mengutarakan, bahwa masyarakat Aru itu terbelakang dan miskin. Satu-satunya jalan keluar mereka terlepas dari keterbelakangan dan kemiskinan ini, dengan menyerahkan nasib mereka pada konglomerat bertopeng. Sementara, masyarakat Aru menggantungkan hidup pada alam sekitar dan mereka tegas untuk berkata tidak.
Pertarungan masyarakat Aru pun menjadi kian jelas. Bahwa, mereka tidak hanya sedang melawan perkebunan, melainkan sesuatu yang jauh lebih mendasar, yaitu, membuat pemerintah lebih berpihak kepada rakyat di negara dimana kepentingan bisnis secara luas mengkooptasi kekuasaan negara. Perjuangan masyarakat Aru juga turut menentukan nasib dari salah satu kawasan hutan tropis yang tersisa di bumi ini dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Yakni, mereka yang kebudayaan dan mata pencaharian bergantung dari alam yang lestari.
Hari ini, perjuangan masyarakat Aru bergema ke seluruh pelosok dunia. Semangat perlawanan itu terjalin dengan gerakan global yang tengah berkembang dan berhadapan pada dua pilihan, antara kepentingan kemakmuran dan lingkungan. Masyarakat Aru mendobrak pilihan biner itu.
Kita perlu mengingat, pertempuran besar itu dimulai dari seorang pendeta, segelintir mahasiswa, dan pesan yang terdiri dari dua kata pada selembar poster.
“Seperti itulah pada awalnya gerakan ini dimulai,” kata Jacky. “Di ruang kelas itu.”
II. ‘Ujung-ujungnya kekuasaan’
Ribuan tahun silam, jauh sebelum Menara Group tiba di Aru, kepulauan ini merupakan bagian dari daratan raksasa yang mencakup Australia dan Papua. Itu adalah gambaran sebelum permukaan laut naik pada akhir Zaman Es. Wajah Aru kemudian berubah dari berupa pucuk bukit-bukit berlubang pada tepi benua besar, menjadi sekelompok pulau-pulau di sisi barat Samudera Pasifik. Proses geologis itulah yang membuat Aru memiliki bentang alam yang langka di mana hamparan hijau hutan-hutan ditopang oleh batu karst dengan goa dan sumber air di dalamnya. Pulau-pulau kecil saling berdekatan di Aru. Mereka terpencar dari timur ke barat dan dipisahkan oleh tiga aliran utama yang bermuara ke laut lepas. Kawasan pesisir dibentengi oleh karang, tebing kapur, dan rawa-rawa mangrove.
Secara biologis, Aru layaknya sebuah dunia yang terpisah dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tidak ada jejak harimau, primata, dan gajah yang dahulu berevolusi di pulau-pulau besar ini. Flora dan fauna di Aru justru lebih mirip dengan yang ditemukan di Papua bagian selatan maupun Australia bagian utara di mana berbagai tumbuhan dan satwa unik di sana terisolasi selama ribuan tahun. Saat ini, Kepulauan Aru adalah rumah bagi kanguru yang hidup di pohon dan burung kasuari yang tak dapat terbang.
Alfred Russel Wallace, seorang naturalis asal Inggris pada era kolonial, pernah begitu kagum pada flora dan fauna di Aru. Menurut dia, Aru adalah tempat yang paling indah dan paling tidak dikenal di dunia. Sampai sekarang pun, fakta itu belum banyak berubah. Komunitas sains internasional mengutarakan, pengetahuan terhadap keragaman hayati di Aru masih jauh dari lengkap.
Pada pertengahan tahun 1800-an, Wallace melakukan perjalanan selama delapan tahun menjelajahi gugusan kepulauan yang sekarang menjadi Indonesia. Aru adalah kawasan yang paling membuatnya terpesona. Perjalanan selama enam bulan di Aru memberi inspirasi terhadap gagasan revolusioner tentang bagaimana kehidupan berevolusi di bumi.
Pemikiran Wallace pun ikut disinggung oleh rekannya yang lebih terkenal, yakni, Charles Darwin, yang melahirkan ide mengenai teori evolusi melalui seleksi alam. Kalau Darwin mendapat pencerahan ketika berada di Kepulauan Galápagos di Amerika Selatan, Wallace justru menemukan di Kepulauan Aru.
Tahun 1857, Wallace pertama kali tiba di kota pelabuhan bernama Dobo — kini ibu kota dari Kabupaten Kepulauan Aru. Di sanalah, dia menyaksikan bagaimana pelabuhan yang ramai itu terhubung dengan rute perdagangan maritim di masa lalu. Mutiara dan kulit penyu merupakan komoditi dari Aru yang diperdagangkan hingga Eropa.
Sementara itu, hidangan lezat dan mewah, seperti sirip hiu, sarang burung walet, dan teripang, diekspor ke Tiongkok. Berbagai untaian bulu-bulu halus dan indah dari berbagai cendrawasih juga dikirim ke berbagai belahan dunia, dari Spanyol hingga Nepal, sebagai penghias mahkota para penguasa.
Dobo dihuni oleh pedagang-pedagang dari Bugis dan Tiongkok, yang berlayar menggunakan kapal-kapal kayu serta para pelaut dari berbagai tempat di nusantara ini. Mereka mengincar benda-benda mewah dan mahal di pasaran dunia atau sesuatu yang dianggap “eksotis” dari orang-orang Aru di pedalaman.
“Saya berani mengatakan (saat itu) ada hampir lima ratus orang (di Dobo) dari berbagai ras,” ucap Wallace dalam catatan perjalanannya. “Semua bertemu di sudut terpencil di Timur ini. Mereka menyatakan kehadiran mereka untuk mencari peruntungan, mendapatkan uang dengan cara apapun yang mereka bisa.”
Pada masa Orde Baru, Pemerintah Indonesia telah “men-desa-kan” masyarakat adat yang tinggal secara berpindah-pindah di dalam kawasan hutan ke desa-desa permanen di sepanjang sungai dan pesisir. Seperti juga masyarakat adat lain di seluruh negeri, orang-orang Aru juga tidak diperkenankan menganut agama leluhur mereka sendiri. Mereka dipaksa berpindah agama sesuai lima agama yang kala itu dianggap resmi di Indonesia. Sebagian besar memilih Kristen, hanya sebagian kecil memilih Islam. Kesulitan lain dari pemerintah muncul yang membuat mereka marah, dengan kehadiran TNI Angkatan Laut yang awal 1990-an mengambil tanah-tanah untuk pembangunan pangkalan udara. Masyarakat Aru, makin terabaikan.
Kala itu, penduduk Aru mencapai lebih 60.000 orang. Kini, mengacu sensus penduduk tahun 2014, populasi di Kabupaten Kepulauan Aru lebih dari 93.722 jiwa. Mereka berbicara dengan 14 bahasa asli dan tersusun ke dalam berbagai komunitas adat (suku-suku) yang tersebar di 117 desa.
Masyarakat adat Aru memiliki tata kelola pemerintahan sendiri yang mengacu pada sistem hukum adat yang kompleks. Bahkan, ketika mereka telah dirumahkan ke dalam permukiman berupa desa-desa dinas, kehidupan mereka masih bergantung pada alam. Masyarakat Aru berburu rusa, babi, dan walabi; memancing kepiting; menyadap karet; dan memanfaatkan hasil hutan non-kayu lain. Mereka memelihara hubungan spiritual dengan hutan yang mereka yakini dihuni oleh roh-roh leluhur.
Meski begitu, banyak pula masyarakat Aru yang ingin menikmati rasa manis dari kehidupan modern yang berada jauh dari kampung-kampung mereka. Biarpun mereka sebetulnya memiliki akses bebas terhadap hasil hutan dan laut, namun rantai perdagangan umumnya dikendalikan para pedagang Dobo dan perusahaan asing. Orang-orang Aru sendiri hanya mendapatkan sedikit sekali keuntungan dari jual-beli hasil bumi mereka. Sebagian warga menjadi buruh harian untuk proyek pembangunan atau konstruksi di Dobo, bahkan tak sedikit pula yang jadi buruh kapal pada sektor perikanan maupun buruh perkebunan di tempat-tempat lain di Indonesia. Upah yang mereka terima itulah kemudian dimanfaatkan di kampung untuk membangun rumah, membiayai anak sekolah, membeli ponsel, atau perkakas perahu.
Ironisnya, dengan segala kelimpahan sumber daya alam itu, Aru merupakan salah satu kabupaten yang bisa dikatakan memiliki pertumbuhan paling lamban. Tahun 1990-an, pemerintah pusat resmi menetapkan, hampir seluruh desa di sana masuk dalam kategori “desa tertinggal.” Banyak orang Indonesia pun memandang rendah kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti Aru. Mereka kerap mengatakan, sebagai masyarakat “primitif” dan tidak beradab. Stigma dan stereotip ini turut membangkitkan hasrat sebagian orang Aru sendiri untuk pembangunan. Namun pembangunan yang selama ini ada tidak selalu memiliki arah jelas.
Tahun 2005, Indonesia memasuki lompatan transisi demokrasi dengan pemberlakuan otonomi daerah. Saat itu, seorang purnawirawan berpangkat kolonel, yaitu, Theddy Tengko, menjadi bupati pertama di Kabupaten Kepulauan Aru. Theddy lahir di Aru dari orangtua peranakan Tionghoa. Pada akhir masa jabatan pertamanya, dia — saat itu berusia 54 tahun — , didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Jaksa menuduhnya menggelapkan uang Rp45 miliar atau hampir sepersepuluh APBD Kabupaten Kepulauan Aru, kala itu. Meski berstatus tersangka, Theddy tetap mencalonkan diri untuk jabatan di periode kedua. Pada Juli 2010, dia menang dan terpilih lagi sebagai bupati. Lawannya yang kalah mengajukan gugatan hingga Mahkamah Konstitusi atas dugaan Theddy membeli suara, menghapus ribuan pemilih dari daftar pemilih, dan menambahkan ratusan suara palsu.
Collin Leppuy, aktivis mahasiswa, teringat kala Bupati Theddy mengunjungi pasar di Dermaga Dobo. Dia membagi-bagikan duit dan kadang melempar uang kertas pecahan Rp50.000 ke laut, lalu menonton orang-orang berkerumun melompat ke air. “Perilaku itu dilakukan beberapa kali,” ucap Collin. “Semua orang lupa diri.” Pemuda itu merinding mengenang kejadian itu. “Asyik juga, gembira-gembira, tapi orang gembira dalam keadaan dibodohkan. Saya sudah besar, baru saya ingat peristiwa itu, oh, ternyata kita ini dibodohin.”
Pada beberapa minggu setelah pencoblosan, MK memutuskan, Theddy memenangkan pilkada. Dia melanjutkan jabatan, sementara proses kasus korupsi berlanjut. Seiring dengan kian intens protes terhadap Theddy yang mempertahankan kursi kekuasaan di tengah skandal korupsi, ternyata dia juga terlibat dalam skema lain dengan implikasi jauh lebih besar.
Theddy diam-diam mengeluarkan izin untuk perkebunan gula yang mencakup sebagian besar luasan daratan Aru. Dia melakukan itu selang lima hari sebelum masyarakat pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Dia juga memulai dengan melepaskan status konservasi terhadap hampir seluruh hutan di Aru demi memuluskan proyek. Proyek itu pun bukan hanya menjadi ancaman bagi masyarakat Aru.
Tahun 2010, peringkat Indonesia naik ke dalam urutan ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sebagai negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi di dunia. Melesetnya status Indonesia karena penghancuran hutan dan lahan gambut yang kaya karbon untuk perkebunan.
Hanya dua bulan sebelum pilkada Aru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat beberapa komitmen penting di panggung dunia terkait pengurangan emisi GRK. SBY menandatangani perjanjian dengan Norwegia, di mana Indonesia akan menerima US$1 miliar atau setara Rp9 triliun saat itu, untuk pengendalian pengrusakan hutan.
Apa yang dilakukan Bupati Theddy, jauh dari pantauan Istana Presiden di Jakarta. Kalau hutan yang diserahkan kepada Menara Group itu benar-benar terbabat, itu berarti terdapat pelepasan volume GRK dengan jumlah setara total seluruh perjalanan udara internasional pada 2010.
Theddy melakukan semua itu tanpa proses konsultasi dengan masyarakat setempat. Padahal, itu telah disyaratkan dalam Undang-undang №32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Itu berarti perlu waktu bertahun-tahun sebelum masyarakat Aru menyadari tentang proyek ini. Saat itu, bisa saja semua hampir terlambat untuk menghentikannya.
Sementara itu, kasus korupsi Theddy tidak mengalami kemajuan. Pada Januari 2011, Collin Leppuy bersama puluhan mahasiswa lain aksi pembakaran ban di depan Kantor Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) di Ambon. Mereka bersumpah akan berdemonstrasi setiap hari sampai Bupati Theddy ditangkap.
Dua bulan kemudian, Menteri Dalam Negeri mengumumkan, Theddy diskors dari jabatan atas tuduhan suap. Meskipun begitu, dia masih berkantor di Dobo dengan dukungan para pejabat yang setia.
Pada April 2012, Mahkamah Agung memutuskan dia bersalah atas korupsi. Meski begitu, pengacaranya berhasil membuat dia tidak dipenjara melalui berbagai manuver hukum. Kemudian, Kementerian Dalam Negeri mengembalikan jabatan sebagai bupati, bahkan ketika jaksa telah menetapkan status sebagai buronan.
“Kita bisa memperdebatkan aspek legalitas ini terus menerus,” kata Yusril Ihza Mahendra, anggota tim kuasa hukum Theddy. “Ujung-ujungnya kekuasaan.”
Perburuan pun dilakukan. Pada Desember 2012, jaksa melacak keberadaan Theddy di Hotel Menteng, Jakarta. Theddy ditangkap dan dibawa ke Bandara Soekarno Hatta. Sebelum mereka naik ke pesawat ke Ambon, terdapat gerombolan sekitar 50 orang mengepung para penegak hukum dan memaksa mereka membiarkan Theddy pergi. Juru bicara Kejari menggambarkan kejadian itu aksi “anarkis dan mengarah pada premanisme.”
Adegan yang lebih brutal lagi terjadi pada Mei 2013. Selama sebulan, ratusan orang Aru dari segala usia, berkemah di depan Kantor Kejari di Dobo. Mereka juga menyiapkan dapur umum dan tempat tidur. Para demonstran muak dengan tingkah laku Theddy. Namun, saat dua orang penegak hukum setempat melakukan pengawasan terhadap Theddy, anak buahnya malah menyerang mereka persis di halaman di depan Kantor Bupati. Mereka mendapatkan perawatan di rumah sakit, salah satunya mendapatkan tujuh jahitan di bagian belakang kepala.
Setelah itu, Theddy akhirnya tak dapat lagi mengelak dari jerat hukum. Pada 29 Mei 2013, dia mendarat di Bandara Rar Gwamar, Dobo dan bertemu dengan jaksa yang oleh militer dan polisi. Sebuah video memperlihatkan Theddy berjalan menuruni landasan dengan pengawal ketika aparat mendekati. Dia sempat berhenti dan menyimak, lalu menolak ketika mereka menyeret dan mendorongnya ke pesawat yang menunggu untuk terbang ke Ambon. Dari sana, dia dipindahkan ke penjara bagi koruptor di Sukamiskin, Bandung. Setahun kemudian, dia meninggal di hotel prodeo itu karena serangan jantung setelah bermain tenis dengan Gayus Tambunan yang dibui terkait kasus pajak.
Penahanan Theddy menandai kemenangan penting bagi mereka yang melawannya. Tetapi, mereka tidak punya banyak waktu untuk merayakan. Pada saat penangkapan Theddy, berita tentang proyek perkebunan tebu, mulai keluar. Di awal 2011, seorang pejabat Pemkab Aru menyinggung tentang hal ini pada pidatonya di acara Sidang Tahunan Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Gereja Protestan Maluku di Dobo. Dia tidak menjelaskan spesifik, tetapi mengklaim, perkebunan itu akan membuka lapangan pekerjaan bagi 250.000 pekerja atau sebanyak tiga kali populasi seluruh Aru.
Sementara itu, orang-orang di kampung mulai menemui para surveyor perusahaan yang hendak mengambil contoh tanah dan mengukur diameter pohon. Di antara beragam informasi yang muncul, terungkap bahwa seluruh proyek telah diberikan kepada satu perusahaan, yaitu Menara Group.
Salah satu orang pertama yang mengetahui skema itu, adalah Costansius Kolatfeka. Constansius berasal dari Pulau Seram, Maluku dan menjabat sebagai Ketua Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku di Ambon. Tahun 2012, dia memutuskan pergi ke Aru untuk mendengar apa pendapat masyarakat mengenai itu. Dia menemukan, ternyata tidak ada yang tahu mengenai rencana perkebunan tebu, kecuali beberapa orang yang bertemu para surveyor atau mendengar desas-desus di Dobo. Sebagian besar masyarakat justru baru tahu tentang proyek perkebunan dari Constansius. “Mereka terheran-heran. Kaget semua,” kata Constansius. “Bahwa ternyata pemerintah daerah telah memberikan izin kepada perusahaan Menara Group masuk di Aru.”
Sekembalinya dia ke Ambon, Costansius menyebarkan berita itu kepada para mahasiswa Aru. Collin Lepuy merupakan satu di antara mereka yang menaruh perhatian. Beberapa bulan setelah penangkapan Theddy, Collin menemui Jacky Manuputty untuk minta bantuan.
Di malam solidaritas pada Agustus 2013, Jacky mendesak mahasiswa-mahasiswa Aru mengumpulkan teman-teman dan keluarga mereka untuk pulang. Informasi detil memang masih dicari, tetapi para aktivis menyadari bahwa rencana pembangunan perkebunan merupakan persoalan paling serius dan besar yang pernah dihadapi mereka di Maluku. “Ketika korporasi besar ini masuk, ini seperti sebuah kegelapan besar yang sementara masuk,” kata Colin. “Cara kita untuk menerangi kegelapan besar ini, adalah kita menggunakan lilin. Lilin ini adalah simbol di mana kita ingin mencerahkan masyarakat Aru.”
Tak sedikit pula masyarakat Aru yang punya sikap bertentangan. Beberapa bahkan ada berharap kalau proyek ini akan menjadi hal baik dengan memberikan pendapatan dan pekerjaan. Tetapi, mereka yang melawan Theddy, melihatnya bukan pertanda bagus, melainkan kelanjutan dari rezim korup sang bupati. Seperti yang sudah-sudah, perusahaan perkebunan umumnya akan mempekerjakan masyarakat setempat sebagai buruh kasar, yang menduduki posisi penting dan strategis, justru diisi dari orang-orang luar yang dianggap lebih terampil. Sedang, hutan malah hancur.
“Orang Aru itu banyak tergantung pada alam,” kata Samuel Irmuply, mahasiswa yang berunjuk rasa menentang Theddy. “Kalau sampai alam ini sudah dikuasai oleh Menara Group, perusahaan besar, lalu orang Aru mau hidup di mana?”
Selama satu bulan bersiap siaga, masyarakat Aru yang protes terhadap Theddy, akhirnya beralih ke Menara Group. Mereka mau pemerintah agar membatalkan proyek perkebunan tebu. Mereka harus berpacu dengan waktu. Saat ini, Menara Group yang mengantongi izin-izin dari Pemerintah Kepulauan Aru, semasa dipimpin oleh Theddy, berupaya mendapatkan persetujuan akhir dari Pemerintah Maluku di Ambon dan pemerintah Pusat di Jakarta. Seperti apa yang telah terjadi sebelumnya, semua proses diliputi tirai yang tertutup rapat.
“Bayangkan, sejak 2005 sampai 2013, Pak Theddy jatuh, baru kemudian kita bisa melawan korporasi besar,” ucap Collin. “Kita jatuhkan beliau dulu, baru kemudian kita bisa jatuhkan Menara Group.”
III. ‘Provokator akan datang’
Pada September 2013, sebulan setelah lilin-lilin dinyalakan, Jacky Manuputty berkomitmen membantu masyarakat Aru. Tak ada lagi keraguan di benaknya ketika para tetua adat Aru benar-benar datang ke kantornya di Ambon. Mereka mengabarkan situasi di Dobo, kian memanas. Pada akhir Agustus 2013, jalan-jalan berubah menjadi lautan masyarakat adat yang turun ke jalan. Jumlah mereka lebih dari seribu orang.
Berbagai slogan perlawanan diteriakkan dengan penuh semangat, antara lain “Pemuda Aru menolak PT Menara,” “Kami masih ingin melihat burung cendrawasih menyanyi dan menari,” dan lain-lain. Di depan kantor-kantor pemerintah, para pendemo meneriakkan tuntutan dengan alat pengeras suara.
Di saat sama, surveyor Menara Group tetap bekerja mengeksplorasi hutan-hutan Aru ditemani dengan pemuda-pemuda dari Dobo, yang dibayar sebagai pemandu. Saat itu, para tetua sangat menyayangkan media yang tidak meliput kejadian seolah tak ada orang yang peduli dengan perjuangan mereka.
Jacky tidak terkejut dengan itu. Negara ini penuh dengan konflik antara masyarakat dan perusahaan. Berbagai media besar pun ikut dimiliki pengusaha-pengusaha yang kaya raya dari mengeruk isi perut bumi, hingga mereka cenderung abai dengan kisah-kisah perlawanan rakyat.
Sementara itu, banyak jurnalis lokal kekurangan bahan dan tak terlihat punya perhatian serius pada Aru. Namun, Jacky menyadari kalau masyarakat Aru ingin mendesak pemerintah dan membatalkan proyek, mereka harus meneriakkan protes lebih kencang lagi. Dia perlu tim berpengalaman dan Jacky tahu ke mana harus pergi.
Sebagai penggerak masyarakat, Jacky telah berpengalaman dalam kerja-kerja terkait konflik. Ketika perang saudara pecah di Kepulauan Maluku pasca-keruntuhan Orde Baru, dia terlibat dalam proses membangun perdamaian. Saat itu, pertikaian karena adu domba antara umat Kristiani dan Muslim, memakan korban hingga sedikitnya 5.000 orang tewas dan 700.000 orang terpaksa mengungsi.
Jacky menggerakkan kelompok muda di Ambon untuk terlibat dalam kegiatan kreatif, seperti puisi, sastra, fotografi, dan seni tari. “Kalau kita hanya bicara dengan pendekatan agama, itu tidak menarik. Karena orang masih sensitif dan trauma terkait dengan peran agama di dalam konflik,” katanya.
“Kita bicara dengan bahasa yang lain, kita memakai media dan medium yang lain.”
Bersama seorang imam setempat, dia mendirikan Provokator Perdamaian, yang kala itu menyebarkan pesan melalui SMS untuk menyanggah rumor yang berpotensi memperkeruh keadaan. Kelompok-kelompok semacam itu sengaja dibentuk guna menyembuhkan luka akibat konflik antar-agama. Kini, dia bermaksud menggunakan mereka demi menyelamatkan Aru.
Jacky pun mencari pemuda yang berpengaruh seperti Habib Almaskaty, pria 28 tahun yang membangun komunitas terdiri dari para blogger lokal. Saat masih bocah, Habib pernah tidak bisa pulang dan terpaksa mengungsi tinggal dengan keluarga di tempat lain ketika kerusuhan terjadi di Ambon. Dia melanjutkan kuliah teknik informatika di Jombang dan kembali ke Ambon untuk bekerja di sebuah warnet.
Habib mulai menulis tentang kampung halaman yang sarat akan kekayaan budaya di antara sekumpulan pulau yang dihiasi gunung-gunung api dan terumbu karang warna-warni.
“Saya mulai menulis tentang hal-hal baik tentang Ambon,” katanya.
Dia melakukan itu karena prihatin ketika orang mengetik “Ambon” atau “Maluku” pada mesin pencari, justru yang muncul selalu tentang tragedi maupun kekerasan. “Jadi, itu salah satu alasan kenapa saya ingin nge-blog karena saya berpikir Ambon punya potensi.”
Sang pendeta menjadikan Habib sebagai koordinator tim kampanye media sosial. Dia juga merekrut beberapa teman pemuda itu semasa kecil, antara lain Weslly Johannes dari Bengkel Sastra Maluku dan Pierre Ajawaila yang merupakan pendiri situs Malukupedia. Orang-orang penting lain yang terlibat, adalah Revelino Barry dari Molukka Hip-hop Community, Linda Holle dari di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Maluku, dan Djuliyati Toisuta dari Maluku Baronda yang fokus mempromosikan pariwisata Maluku. Mereka menjadi tulang punggung kampanye online yang bertugas memperluas kerja-kerja para aktivis di Aru. Tim ini membuat website, Facebook, dan Twitter, serta mempopulerkan tagar #SaveAru di media sosial.
Habib ingin menjadikan Aru sebagai nama yang dikenal luas di Indonesia. Itu kerja berat. “Orang Maluku sendiri melihat Aru adalah sebuah kabupaten yang terbelakang sekali dan tidak terlalu menjadi perhatian,” katanya.
Dia pun mengincar para netizen di Jakarta sebagai salah satu kota dengan pengguna Facebook dan Twitter paling aktif di dunia. “Jika semua orang membicarakan di Jakarta, di mana pun di media sosial orang-orang dari luar membicarakannya, efek baliknya, orang Maluku akan melihat.”
Sementara itu, Jacky dan rekan-rekannya yang lebih berpengalaman mulai bertanya-tanya soal apa dan siapa itu Menara Group. Untuk menemukan jawaban itu, dia menemui Yohanes Balubun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku. Yohanes berasal dari Komunitas Ohoi El di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, juga terlatih sebagai pengacara. Yohanes membantu Jacky untuk urusan legalitas. Untuk penelusuran lebih lanjut, dia dibantu oleh Maichel Koipuy, seorang jurnalis berusia 23 tahun asal Aru yang berbasis di Ambon.
Penelusuran di Internet menghasilkan sesuatu. Pada sebuah artikel tahun 2012 yang terdapat di situs surat kabar Malaysia bernama The Star, disinggung presiden dan direktur utama (CEO) dari Menara Group adalah Chairul Anhar. Artikel itu menyebutkan, klaim Chairul saat konferensi pers pada forum bisnis Islam di Malaysia. Chairul mengatakan, Menara Group memegang izin seluas 500.000 hektar untuk perkebunan tebu di bagian timur Indonesia. Luasan itu hampir setara dengan konsesi perkebunan di Aru.
Pengusaha dengan tampilan kumis tipis dan klimis itu, menyatakan, harapan bahwa perusahaan itu mampu memasok gula untuk Felda Global Ventures, salah satu perusahaan agrobisnis Malaysia terbesar dunia. Menurut dia, Menara Group juga memiliki bisnis di bidang properti, perdagangan, dan teknologi informasi serta segera menjadi perusahaan yang “go public” di Bursa Efek Jakarta.
Artikel itu bersama dengan sejumlah kecil berita serupa lainnya, memberikan persepsi tentang konglomerat yang menggurita. Anehnya, untuk sebuah perusahaan yang mengklaim sebagai salah satu pemilik lahan terbesar di Indonesia, informasi mengenai Menara Group justru sangat sedikit, bahkan tak ada situs resmi perusahaan. Tim Jacky pun tak dapat menemukan bukti bahwa Menara Group pernah terlibat dalam bisnis perkebunan.
Dengan memanfaatkan koneksi dengan orang-orang dalam pemerintahan, tim akhirnya menemukan sekumpulan dokumen perusahaan. Dokumen-dokumen itu memperlihatkan rencana proyek yang akan dibagi menjadi 28 blok, masing-masing berukuran hampir seluas Kota Bandung. Setiap blok telah dialokasikan ke 28 perusahaan berbeda dengan pula nama-nama direktur yang berbeda.
Chairul Anhar masuk ke dalam salah satu dari sekumpulan nama itu. Lainnya mengacu pada orang-orang yang bekerja di berbagai perusahaan keuangan yang tidak jelas. Sangat sedikit informasi mengenai mereka yang bisa ditelusuri lewat dunia maya. Di balik tirai yang menyelimuti Menara Group, terdapat banyak badan hukum yang membingungkan dengan pula sekelumit orang-orang yang berbeda.
“Waktu itu cuma untuk mengecek kebenaran: Apa betul perusahaan-perusahaan ini betul-betul ada ataukah hanya sekadar untuk membentuk perusahaan fiktif untuk membagi konsesi lahan yang begitu besar?” kata Maichel.
Dia berpendapat, struktur perusahaan yang rumit ini seperti suatu “kamuflase” belaka yang kemungkinan untuk menghindari persyaratan legal. Tak satu pun dari 28 perusahaan memiliki konsesi lahan lebih dari 20.000 hektar. Kalau semua digabungkan, total luasan mencapai 484.500 hektar. Jumlah itu melampaui lebih dari tiga kali lipat luasan area dari yang sepatutnya dapat dikelola oleh sebuah perusahaan di bawah regulasi yang ada.
Kedua puluh delapan perusahaan itu terdaftar di 25 alamat berbeda di Jakarta. Ketika tim Jacky meminta teman-teman mereka di sana untuk mengecek lokasi, mereka justru menemukan ruko tak bernama atau tanah kosong tanpa bangunan. Mereka hanya bisa menemukan satu lokasi yang terkait dengan Menara Group, yaitu sebuah kantor di lantai 25 di Graha CIMB Niaga yang berlokasi di pusat bisnis Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta.
Selama ini, memang terdapat banyak konglomerat sumber daya alam di Indonesia, mempunyai struktur perusahaan rumit, hingga sulit ditelusuri. Namun, Menara Group ini betul-betul berbeda, karena hampir tidak ada informasi yang bisa menjabarkan makhluk seperti apa sebenarnya.
Tim pun menemukan satu fakta mencolok, bahwa, Theddy telah membiarkan Menara Group melewati tahap penting dari proses perizinan. Itu adalah pelanggaran di mana bupati dapat kena sanksi hukuman maksimum tiga tahun penjara.
Secara hukum, Menara Group wajib melakukan penilaian terhadap dampak perkebunan bagi masyarakat dan lingkungan Aru sebelum pemerintah kabupaten mengeluarkan izin usaha. Pada tahap itu, perusahaan seharusnya berkonsultasi dengan setiap desa yang bersinggungan dengan proyek, lalu menggabungkan pandangan-pandangan warga ke dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Amdal kemudian ditinjau Komisi Penilai Amdal yang terdiri dari akademisi dan perwakilan masyarakat. Jika Theddy patuh pada aturan, masyarakat Aru bisa mengajukan keberatan setidaknya awal tahun 2010.
Secara hukum, masyarakat Aru punya posisi lemah. Undang-undang Dasar 1945 telah mengakui hak masyarakat adat terkait kebiasaan maupun hukum adat yang tidak tertulis. Namun, berbagai peraturan-perundangan justru mengesampingkan hal itu dan menyerahkan kontrol atas tanah dan hutan adat kepada pemerintah.
Hampir keseluruhan wilayah Aru dianggap sebagai milik negara, hingga memungkinkan para pejabat mengeluarkan izin-izin kepada perusahaan dan merampas hak veto rakyat. Pada Mei 2013, — di bulan yang sama dengan penangkapan Theddy — Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menyatakan, hutan adat bukan lagi hutan negara. Aturan ini memberikan harapan bagi masyarakat adat bahwa pemerintah tak bisa begitu saja memberi izin kepada perusahaan seperti Menara Group. Di lapangan, implementasi putusan sangat lambat. Untuk saat ini harapan itu masih hanya harapan.
Idealnya, penyimpangan perizinan Bupati Theddy, seharusnya bisa membuka jalan menggugat proyek di pengadilan. Tetapi, Jacky tahu bahwa menuntut pertanggungjawaban Menara Group dan para pendukungnya lewat jalur hukum, tidak serta merta menghentikan proyek. Kisah Theddy merupakan contoh bagaimana hukum begitu mudah dimanipulasi. Namun, para aktivis percaya, mereka bisa menggunakan aspek hukum dari proyek perusahaan itu.
Kalau mereka dapat menarik perhatian lebih besar lagi, mungkin penegak hukum pun akan menyoroti kejanggalan itu. Hingga hal ini akan memberikan tekanan politis bagi pihak-pihak lain untuk tidak menindaklanjuti tahapan akhir dari proses perizinan yang masih dibutuhkan oleh Menara Group.
Habib dan teman-temannya begitu kencang berkampanye. Agar makin menggugah emosi orang-orang terhadap penolakan proyek itu, mereka mendorong siapa pun untuk menuliskan puisi dan lagu. Salah seorang yang pertama merespon itu, adalah Rudi Fofid, jurnalis berusia 50-an dan pernah bekerja di portal berita bernama Suara Maluku. Dia mengirim puisi yang diunggah pada Facebook dengan judul “ARU, TARIK BUSURMU!”:
Bila tiba saatnya, tarik busurmu, lepaskan anak panahmu ke dada para penyamun yang turun dari pesawat dan menginjakkan kakinya di Bandara Rar Gamar.
Jaga pelabuhan Yos Sudarso, panah matanya jika para penyamun turun dari tangga kapal.
Seseorang dari Aru meninggalkan komentar pada status puisi itu dengan pertanyaan apakah dia boleh menyalin puisi itu untuk dibagikan kepada warga di Pelabuhan Dobo, lantas disebarkan ke kampung-kampung di pedalaman dengan perahu. Namun, puisi itu juga jatuh ke tangan polisi dan militer. Rudi dituding sebagai “provokator” yang mencampuri urusan mereka.
Jika mereka ingin mengetahui situasi yang sebenarnya, mereka harus ke Aru. Maka, pada September 2013, Rudi dan Maichel Koipuy sebagai jurnalis muda, pun pergi. Saat itu, uang mereka hanya cukup untuk membeli tiket kapal feri dengan perjalanan selama dua hari.
“Tunggu saja,” ucap Rudi pada dirinya sendiri kala dia menyeberangi Laut Banda. “Provokator akan datang.”
IV. Serangan balik
Rudi dan Maichel, tiba di ibu kota Aru, yaitu Dobo, ketika gelombang protes menentang Menara Group, makin memuncak. Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Aru berusaha berkelit dari kemarahan masyarakat dan mengaku tidak tahu menahu soal proyek ini. Tetapi foto-foto yang tersebar menunjukkan potret para politisi mengunjungi Kantor Menara Group di Jakarta beberapa kali. Mereka berfoto dengan Chairul Anhar sebagai CEO dengan senyum lebar sambil berjabat tangan dan tangan lain menyerahkan tas bingkisan.
DPRD Aru ternyata sudah menyetujui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk seluruh Kepulauan Aru tahun 2012 dengan menghapus status kawasan hutan yang dinilai dapat menghambat kelancaran proyek. Kini, terungkap, para anggota DPRD itu sesungguhnya telah bertahun-tahun mengetahui rencana Menara Group.
Pada 12 September 2013, beberapa hari sebelum kedatangan kedua jurnalis itu, masyarakat Aru mengadakan pawai besar yang memenuhi jalan-jalan di Dobo. Pada tangga gedung DPRD, mereka ritual dengan menempatkan sasi (semacam larangan adat) persis di depan pintu masuk.
Saat itu, sasi berbentuk bingkai kayu yang didirikan dan disematkan dengan kain tenun. Siapa pun di Maluku, termasuk pejabat, tahu apa itu artinya sasi. Tahun berikutnya, pernah sasi serupa disematkan di Kota Tual, hingga walikota di sana pun harus bekerja dari hotel.
Itu adalah jenis sasi paling kuat. Maka, berbagai kegiatan formal di dalam gedung DPRD pun tidak bisa dilakukan selama tersemat sasi. Menurut Mama Anatje Siarukin, tetua adat perempuan, seandainya ada yang melintasi sasi itu, artinya sama saja dengan menantang perang.
“Jika kamu merobohkan, maka kamu menelanjangi para perempuan Aru, baik itu ibu kandungmu sendiri maupun ibu-ibu yang sudah berambut putih,” katanya. “Ini adalah kain yang kita gunakan untuk menutupi diri kita sendiri. Siapa pun yang berani melanggarnya, berarti mengundang pertumpahan darah.”
Sejak awal, mama-mama Aru telah memainkan peran sentral dalam rangkaian demonstrasi. “Mereka turun ke jalan, mereka membawa panci dan wajan dan memasak di depan kantor pemerintah sebagai aksi protes,” ucap Mercy Barends, anggota DPRD Maluku asal Aru yang ikut menolak Theddy sebagai bupati tahun 2010.
Mereka mengeluarkan sedikit uang yang dimiliki untuk memberi makan para pengunjuk rasa dan mama-mama bergabung dalam pawai di Dobo. Anatje bahkan mengizinkan para aktivis berkumpul di rumahnya. “Kami tahu jika Menara Group datang, generasi masa depan akan menderita,” katanya. “Kami sepakat bahwa kami harus ikut berjuang.”
Kedatangan Rudi dan Maichel disambut masyarakat Aru. Mereka yang ikut aksi protes berasal dari berbagai kalangan, baik tua maupun muda, dari pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, sampai nenek-nenek yang menjual sayur di pasar di sepanjang dermaga. Para jurnalis itu dibawa dari Pelabuhan Yos Sudarso ke rumah kayu yang jadi markas. Markas ini di kelilingi eceng gondok dan masih dalam pembangunan, hingga belum ada pintu, perabot, jendela, bahkan langit-langit.
Rudi memandang papan buletin yang memajang puisinya. Dia dan Maichel duduk dalam lingkaran di lantai bersama sekitar 20 warga Aru. Warga bergiliran berterima kasih kepada Rudi. Satu, dua, tiga sampai orang keenam, Rudi mengatakan, tak perlu berterima kasih lagi. “Terima kasih sudah sangat banyak. Orang ketujuh dan seterusnya jangan terima kasih lagi yah, sudah cukup terima kasih. Kita punya waktu sedikit. Kita sama-sama, jadi tidak usah terima kasih. Terima kasih sudah cukup.”
Namun, masyarakat Aru tak berhenti menyampaikan rasa terima kasih kepada Rudi dan Maichel. “Saya harus mengucapkan terima kasih karena kami sendirian,” kata seorang pria muda. “Tidak ada yang datang ke sini sebelumnya untuk bergabung dengan kami.”
Meski masyarakat Aru, tampil begitu berani di jalanan, Rudi menyadari kalau mereka masih kurang percaya diri. “Mereka merasa kecil,” katanya. Rasa percaya diri itu sangat penting agar membuat mereka yakin bahwa mereka bisa menang. Kalau mereka kehilangan kepercayaan, mereka bisa tercerai berai.
“Masalahnya selalu dimulai ketika warga terpecah,” kata Rudi menyinggung pengalamannya sendiri terkait konflik agraria di Maluku. “Kita tidak boleh membuat orang bertengkar di antara mereka sendiri. Fokus harus ditekankan untuk mencegah masuknya Menara Group. Mereka harus kompak.”
Dalam dua minggu ke depan, Rudi dan Maichel bertemu dengan aktivis-aktivis lain di markas yang Rudi sebut Posko Eceng Gondok. Sambil menyeruput kopi tumbuk dan menyantap kue sagu pompom, mereka duduk bersama para tetua. Salah satunya ada Mama Constansa Labue, dengan rambut yang memutih dan gemar mengunyah sirih-pinang. Perempuan berusia 63 tahun itu bercerita tentang kejadian saat berhadapan dengan polisi ketika mendemo Theddy. “Saya tidak takut peluru,” katanya.
Ayah Maichel, Samuel Koipuy, juga mampir untuk bertutur tentang penciptaan burung cendrawasih dan berbagai binatang. Budaya Aru terhubung erat dengan fauna yang ada. Setiap marga memiliki roh hewan yang dipercaya sebagai tuan dari marga itu. Hal itu terkait keadaan alam di mana leluhur mereka menetap lama di Kepulauan Aru.
Latif Madilis, jurnalis di Dobo, menghibur mereka dengan kisah-kisah pelaporan dari kampung-kampung yang hanya dapat dilalui dengan perahu. Latif lahir di Kei dari orangtua keturunan Aru. Pria berusia 30 tahun itu pernah bekerja di Jakarta. Karena bosan dengan kehidupan di kota besar, dia pun pindah dan — meski tanpa pengalaman jurnalistik — sempat bekerja di sebuah koran kecil bernama Masnait di Dobo.
Surat kabar ini unik karena dicetak di kertas HVS dengan mesin printer biasa. Namun, dia berharap dapat menggali pengalaman di media televisi. Latif kemudian menabung selama dua tahun untuk membeli kamera profesional. Karena Internet di Dobo sangat lamban, dia pun menitipkan hasil rekaman pada penumpang pesawat yang hendak ke Ambon untuk selanjutnya dapat diunggah dan dikirim kepada editor di Jakarta.
Secara khusus, Rudi dan Maichel juga terkesan dengan Mika Ganobal, seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi koordinator utama para pengunjuk rasa Dobo. Banyak PNS enggan terlibat dalam perlawanan proyek perusahaan karena takut dipecat. Mika berbeda. Pria berumur 35 tahun itu bekerja sebagai PNS di desa pesisir di Kecamatan Aru Tengah. Biasanya, dia menggunakan perahu ke tempat kerja dari rumahnya di Dobo. Meski terlihat pendiam, dia punya karisma yang mampu menyemangati para demonstran ketika sudah ada di atas pikap truk dengan pengeras suara di tangan.
Kala masih ada sejumlah masyarakat Aru ragu atau bimbang dengan proyek perkebunan, Mika yakin, bahwa itu hanya akan jadi malapetaka. Sebagai lulusan sebuah universitas di Ambon, dia memahami bagaimana situasi di kawasan perdesaan lain yang telah jadi korban perusahaan-perusahaan besar di mana keuntungan hanya mengalir pada para pemodal dan pejabat. Sebagian besar masyarakat, cuma berakhir menjadi buruh miskin. “Kami tidak bisa membiarkan itu terjadi di Aru,” katanya.
Rudi kemudian menulis tentang rapat awal mereka itu pada situs berita di Ambon bernama Maluku Online. Tampaknya dia dan Maichel punya ide lebih besar. Seandainya mereka dapat membuat orang-orang Aru sendiri mengirimkan informasi dari lapangan ke Ambon, maka Habib Almaskaty pun bisa menyebarkan kepada masyarakat luas. Tentu saja, itu bukan hal mudah dilakukan. Sebagian besar desa di Aru, masih belum memiliki sambungan telepon dan konektivitas Internet juga terbatas di Dobo. Perlu waktu lebih lama, bahkan sekadar berkirim surel (surat elektronik).
Jadi, para aktivis harus bekerja dengan cara-cara lama. Pesan yang ditulis dengan tangan dari kampung-kampung, dapat dibawa ke Dobo menggunakan perahu. Di Dobo, harus ada orang-orang yang akan bertanggung jawab untuk melanjutkan komunikasi dengan tim di Ambon melalui SMS. Jika perlu pembicaraan lewat telepon, mereka yang di Dobo dapat melakukan missed call (panggilan tak terjawab) dengan tim di Ambon yang lantas akan menelepon balik ke mereka. Dengan begitu, mereka yang di Dobo tidak harus terbebani dengan biaya pulsa. Itu yang terbaik. “Kami membangun rantai informasi,” ucap Habib.
Rudi dan Maichel lalu meminta masyarakat Aru untuk menyebarkan berbagai informasi mengenai pertarungan mereka melawan perusahaan: Apa yang dilakukan perusahaan? Bagaimana orang-orang bertahan untuk melawan? Bagaimana tanggapan pemerintah? Mereka sebetulnya sedang memberikan pembelajaran tentang “jurnalisme warga” di mana fakta harus menjadi acuan.
“Bukan apa yang dipikirkan, tetapi apa yang dilihat,” tegas Rudi. Foto dan video adalah cara paling andalan, bahkan satu kalimat saja dikirim lewat SMS, bisa jadi bahan untuk berita online maupun postingan media sosial. Materi-materi itu dapat pula dikembangkan menjadi narasi untuk mengabarkan persoalan tentang penyalahgunaan kekuasaan dan perlawanan masyarakat adat yang berpeluang membangkitkan reaksi publik serta menekan para birokrat.
Ketika Rudi dan Maichel tengah berbagi pengetahuan di Dobo, tim Habib meraih kesuksesan pertama dengan kampanye online. Mereka memanfaatkan jaringan Jacky yang luas hingga ke AS dan Eropa untuk mendorong orang-orang mem-posting foto diri mereka sambil memegang poster atau pesan bertuliskan #SaveAru. Hal itu memicu orang-orang di berbagai tempat, antara lain Belanda, di mana banyak masyarakat keturunan Maluku tinggal; kampus-kampus, termasuk Universitas Harvard dan Universitas Oxford; serta kota-kota pelajar di Jawa, yakni Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Tim di Ambon juga memproduksi material kampanye. Salah satu yang paling populer adalah infografis yang menampilkan perbandingan wilayah Kepulauan Aru dengan warna hijau dan kawasan konsesi Menara Group dengan warna merah. Ilustrasi ini efektif karena — seperti yang diutarakan Rudi — kita tak perlu membaca untuk bisa memahaminya. “Kita hanya perlu melihatnya saja untuk memahami bahwa kawasan hutan di Aru harus dijaga.”
Di ibu kota Maluku yang dijuluki Kota Musik itu, tim kampanye juga mem-posting lagu rap yang dibawakan Molukka Hip-hop Community melalui kanal YouTube. Video musik itu dimulai dengan petikan ucapan Mahatma Gandhi dan diselingi rekaman aksi protes di Dobo. Pada akhir September 2013, akun Twitter @SaveAruIslands mem-posting kicauan pertamanya: panggilan untuk pengiriman puisi, laporan bahwa Menara tengah memindahkan alat berat ke Aru, serta pengumuman bahwa AMAN mengunjungi Aru.
Para musisi rap dari Molukka Hip-hop Community yang bernyanyi tentang Aru.
Hanya dalam waktu beberapa minggu, kabar tentang gerakan ini tersebar hingga keluar Maluku. Anak-anak muda di Ambon membuat karya seni bernuansa politis, sementara masyarakat Aru terus berdemo di Dobo. Kampanye sudah mulai dengan mantap. Namun, Jacky menyadari, perlu upaya lebih dari sekadar kampanye online untuk menghentikan Menara Group. Kewenangan yang sebenarnya ada di tangan negara justru di situlah kerja-kerja menjadi penuh tantangan.
Abraham Gainau, Plt Bupati Kepulauan Aru, mengutarakan dukungan terhadap proyek perusahaan. “Masyarakat menginginkan perubahan hidup,” katanya kepada wartawan. Gubernur Maluku periode 2003–2013, Brigjen TNI (Purn.) Karel Ralahalu, tahun 2010 mengeluarkan rekomendasi agar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan untuk 28 perusahaan Menara Group.
Pada awal 2013, Zulkifli menerbitkan izin prinsip pencadangan kawasan hutan untuk 19 perusahaan dengan luas 302.760 hektar. Kalau Zulkifli menandatangani izin pelepasan itu, maka buldoser milik Menara Group pun tak lagi punya hambatan untuk membabat habis hutan di sana.
Kalau pemerintah begitu sulit dipengaruhi agar melawan proyek ini, maka peluang alternatif ada pada lembaga lain yang punya pengaruh. Jacky pun dapat memanfaatkan dukungan lewat dunia maya dan memusatkan tekanan pada institusi publik lain, termasuk kampus dan gereja, untuk membuka jalan menghadang proyek perkebunan di Aru. Jacky kemudian mulai melobi Sinode Gereja Protestan Maluku dan meyakinkan lembaga ini untuk menyatakan dukungan kepada perjuangan masyarakat. Di saat sama, dia juga bekerja sama dengan Universitas Pattimura (Unpatti) sebagai institusi pendidikan terbesar di Kota Manise.
Sang pendeta menyadari, para dosen Unpatti, sering mendapatkan proyek pembuatan kajian dari perusahaan, baik itu survei maupun amdal. Hingga, pandangan akademisi yang tak memihak Menara Group, menjadi sangat penting, terutama melihat sejauh mana dampak yang bisa timbul dari kehadiran perkebunan tebu berskala raksasa. Hal itu juga dapat membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Jacky meminta Agustinus Kastanya, dosen senior Jurusan Kehutanan di Fakultas Pertanian, Unpatti, untuk rapat di fakultasnya. Pendeta itu hendak menggugah rasa malu di kalangan akademisi atas pengabaian pada situasi yang terjadi.
Rapat itu melibatkan lebih dari 50 pakar untuk segera menghimpun dukungan bagi perjuangan masyarakat Aru. Jacky pun langsung memberikan pukulan menyentuh pada harga diri dosen-dosen. Pertama, dia menampilkan rangkaian foto kalangan terpelajar (mahasiswa dan dosen) dari seluruh dunia yang memegang poster dan spanduk besar bertuliskan #SaveAru. Kemudian, dia menyalakan proyektor untuk mengutarakan bahwa rapat ini disiarkan langsung melalui Twitter dan ada banyak lontaran dukungan dan harapan yang terlontar saat itu.
Jacky mengatakan, kepada peserta rapat dengan bilang bahwa bagaimana mungkin kita sebagai orang Maluku, malah tak mendukung sesama saudara di Aru. Dia menambahkan, dengan penekanan pada Unpatti sebagai kampus terbesar di Maluku, namun tidak melakukan apa-apa untuk mencegah potensi bencana alam dan sosial di halaman rumah mereka sendiri.
“Seperti tamparan di wajah,” kata Jacky.
Sambil Jacky bicara, dia terus mengarahkan pandang ke guru besar pertanian Abraham Tulalessy yang duduk di meja utama. Bagi Abraham, proses perizinan proyek Menara Group, jauh dari tuntas. Meski perusahaan telah mempunyai izin usaha perkebunan tetapi belum menyelesaikan amdal, namun mereka tetap memprosesnya dengan mempekerjakan konsultan untuk analisis mengenai dampak lingkungan itu.
Abraham adalah anggota dari Komisi Penilai Amdal yang akan menganalisis hasil dan memberi keputusan terhadap persetujuan proyek. Dia bersama anggota lain terdiri dari akademisi dan perwakilan komunitas dan masyarakat, telah bergulat dengan itu selama berbulan-bulan.
Seperti yang kemudian disadari oleh Abraham sendiri, proyek itu telah menyalahi kewajaran. Theddy Tengko menyeret proyek perkebunan untuk memiliki celah terkait ilegalitas pada proses di mana dia menandatangani izin-izin yang tidak dilengkapi amdal. Sekarang, penilaian oleh konsultan perusahaan, dalam pandangannya, memiliki kualitas buruk. Proyek Menara Group akan berdampak terhadap sebagian besar penduduk Aru yang berjumlah lebih dari 80.000 orang.
Kontraktor pun justru gagal dalam proses konsultasi dengan masyarakat dengan hanya mengunjungi kampung beberapa desa dari 117 desa di Aru. Amdal itu tampaknya menangkap implikasi negatif yang sangat besar terhadap masyarakat dan lingkungan, namun kesimpulan dibuat sedemikian rupa, hingga menitikberatkan poin pada keuntungan ekonomi yang sebetulnya amat samar, seperti pekerjaan dan peluang bisnis.
Sebagian akademisi di komisi itu telah menyampaikan keprihatinan. Pada rapat Juli 2012, seorang dosen mengungkapkan kalau Menara Group tidak memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan. Hal ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan perusahaan hanya mengincar kayu di hutan Aru. Yang lain mengatakan, perusahaan pun tidak memiliki rencana jelas dalam mengelola polusi air. Namun, berbagai pendapat kritis yang menentang proyek perkebunan itu, sekadar dilontarkan di dalam forum tertutup. Jacky kemudian melemparkan pilihan kepada para akademisi, apakah mereka bersedia menyatakan dukungan gerakan Save Aru kepada khalayak atau tetap diam dan dilihat sebagai antek perusahaan.
Abraham dikenal lantang bicara masalah lingkungan, tetapi sebelumnya tidak ada jejak yang menunjukkan keprihatinan untuk persoalan Menara Group. Saat itu, ketika dia duduk di meja depan rapat, para dosen mulai mengutarakan kecaman mereka terhadap proyek perkebunan. Seseorang berdiri dan mengatakan, kedaulatan terhadap sumber daya alam Maluku itu sedang terancam. Yang lain menyatakan, tindakan hukum harus segera diambil. Ada juga menyatakan, kalau para dosen masih merasa punya integritas, akademisi sepatutnya berjuang bersama melawan Menara Group.
Pada akhirnya, Abraham pun bergabung dengan 52 akademisi lain untuk ikut menandatangani pernyataan yang menuntut pembatalan proyek. Pernyataan itu berbunyi: “Untuk itu, maka kami yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan MENOLAK eksploitasi tanah masyarakat Aru oleh PT Menara Group dan/atau investor lainnya.”
Para dosen berjanji mendukung kampanye Save Aru. Akademisi akan mengkaji aspek legal perizinan proyek dan mengecek dampak sosial dan lingkungan seandainya proyek tetap lanjut.
Jacky pun memiliki pasukan tambahan untuk bertempur. Dengan barisan dosen-dosen di belakangnya, kini perjuangan mereka memiliki dukungan dari aspek hukum dan akademik. Hal ini merupakan keistimewaan dari perjuangan masyarakat Aru dalam melawan proyek yang dibekingi para pejabat pemerintah.
Setelah rapat dengan kalangan akademisi, aktivis muda Costansius Kolatfeka, terbang ke Dobo membawa spanduk #SaveAru yang dia simpan di dalam koper. Beberapa hari kemudian, masyarakat Aru mengarak spanduk itu melintasi kota selayaknya bendera kebanggaan. Mereka menyerukan pembatalan proyek. Momen ini memperlihatkan bagaimana “rantai informasi” yang dibangun oleh para aktivis, berkembang dari yang hanya satu arah, kemudian bergerak seperti suatu lingkaran yang saling berinteraksi.
Mereka tidak hanya sanggup mengirimkan berita dari Aru ke dunia luar, juga mengirimkan balik pesan dukungan yang kuat untuk menguatkan perlawanan rakyat. “Perang yang sesungguhnya ada di Aru,” kata Rudi Fofid. “Kita boleh heboh di media sosial, tapi kalau masyarakat sudah menyerah, kita tidak ada gunanya sama sekali.”
Di Lapangan Yos Sudarso di Dobo, masyarakat Aru membentangkan kain putih besar. Mereka melukai ujung jari dan membubuhi nama mereka dengan darah. Tindakan itu adalah pesan yang kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di masa akhir jabatan selama dua periode. Masyarakat Aru pun siap mempertahankan tanah mereka apa pun taruhannya.
“Itu adalah sebuah kesepakatan,” kata Mama Anatje Siarukin. “Kita sudah siap mati ketika Menara Group masuk.”
V. Serangan terhadap ilmu pengetahuan
Setelah rapat di kampus, Abraham Tulalessy menjadi salah seorang pendukung gerakan yang paling lantang bicara. Dia ikut protes dan tampil di hadapan media. Abraham juga sigap menyoroti persoalan amdal Menara Group. Para penilai dari perusahaan pun mengumpulkan berbagai data yang tampaknya akan memberatkan kajian itu. Namun, sorotan terhadap dampak itu sepertinya ditekankan pada perkara kurang penting, seperti tingkat kebisingan, sementara itu mereka justru mengabaikan fakta bahwa proyek perkebunan sebetulnya hendak mengubah kehidupan di Aru secara masif.
“Hutannya akan hancur, habitat akan habis, flora-fauna akan punah, kandungan air tanah akan rendah. Masyarakat akan rugi,” kata Abraham.
Banyak rekan seprofesi Abraham turut menyetujui pandangan itu. Profesor Agustinus Kastanya, guru besar di Unpatti yang mengatur rapat fakultas sekaligus menjabat di Dewan Kehutanan Nasional, — sebuah badan yang biasa memberikan masukan kepada pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan — kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan- mengatakan, perkebunan berskala besar akan “sangat berbahaya” bagi Aru. Sedangkan Abraham “Semmy” Khouw, ahli biologi kelautan di Unpatti yang duduk di Komisi Penilai Amdal mengutarakan, kalau Menara Group tidak menghormati ilmu pengetahuan.
“Ada begitu banyak spesies luar biasa di Maluku, kami bahkan tidak tahu 10% dari mereka,” katanya. “Sebagai orang akademisi, saya ngomong apa adanya. Secara saintifik, saya ngomong. Tapi kalau itu lebih kepentingan politik, ya mau gimana lagi.”
Meski Abraham Tulalessy dan Semmy, menentang proyek perkebunan ini, tetapi keputusan terhadap persetujuan proyek tidak sepenuhnya berada di tangan mereka. Hal itu akan tergantung pada keputusan mayoritas para anggota Komisi Penilai Amdal yang terdiri dari belasan orang, mencakup perwakilan akademisi, pejabat pemerintah di pusat dan daerah, sektor privat, dan masyarakat sipil. Biarpun terdapat beberapa anggota yang menyatakan bersimpati dengan gerakan, belum tentu pula menjamin komisi ini akan sepakat menolak proyek.
Sementara itu, banyak masyarakat Aru, terutama yang tinggal di pedalaman, masih belum tahu apa-apa mengenai proyek perkebunan raksasa. Di sisi lain, perusahaan yang diwakili oleh tim survei lapangan, telah mempromosikan kepada penduduk beberapa desa terkait kehadiran proyek yang akan mengubah kehidupan mereka jadi lebih baik dengan iming-iming pembangunan infrastruktur dan beasiswa hingga keluar negeri.
“Janji-janji mereka terlalu muluk,” kata Mika Ganobal, yang tidak percaya. Dia adalah koordinator untuk gerakan di Dobo. “Mereka menjanjikan membangun fasilitas, seperti sekolah, sarana-sarana kesehatan, rumah-rumah ibadah. Bagi kami, yaitu janji-janji. Tetapi belajar dari pengalaman bahwa di samping janji itu, ada neraka yang tersembunyi. Karena hutan kami tidak akan kembali lagi, ketika digunduli.”
Mika memahami, masyarakat Aru memiliki hak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seandainya pun mereka memutuskan tetap ingin mengambil risiko, itu menjadi keputusan mereka. Namun dia percaya pula kalau mereka mendapatkan informasi berupa fakta-fakta, kemungkinan besar mereka turut mendukung perjuangan.
Setelah para demonstran menandatangani nama-nama mereka dengan darah di Dobo, mereka mulai berpencar ke seluruh pelosok pulau-pulau dan menyebarluaskan berita dengan cara mereka sendiri.
Selama bertahun-tahun mengorganisir gerakan, Jacky belum pernah melihat seperti yang akan coba dilakukan oleh aktivis-aktivis di Dobo. Sebagian dari 117 desa yang terdapat di Kepulauan Aru, terletak jauh di pedalaman dan hanya dapat dilalui dengan menelusuri sungai-sungai. Lainnya, tersebar di pulau-pulau kecil. Orang-orang di sana biasa menggunakan perahu kecil bermotor sebagai transportasi.
Sejumlah kampung bahkan memerlukan waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke sana. Bensin mahal dan ombak bisa kencang pada musim tertentu. Mereka tidak punya pilihan lain. Hanya itulah satu-satunya cara untuk mendistribusikan informasi kepada penduduk yang tinggal di luar ibu kota kabupaten.
Di bawah arahan sang pendeta, Mika dan timnya menyusun rencana. Orang-orang yang ikut aksi protes di Dobo, pulang ke rumah mereka masing-masing dan akan menyampaikan berita tentang proyek perusahaan itu kepada keluarga, kerabat, dan teman-teman di kampung.
Mama Anatje Siarukin, ikut sebagai perutusan awal. Dia akan kembali ke desa asalnya bernama Jelia di sabana di Kecamatan Aru Selatan. Di sana, Mama Anatje mengumpulkan keluarga besar dan memberi tahu mereka apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Menara Group masuk ke hutan dan kampung mereka.
“Bukan membawa sebuah keberhasilan, tetapi membawa sebuah kehancuran,” katanya.
Berbondong-bondong warga Jelia duduk bersama dalam musyawarah selama tiga hari dua malam. Akhirnya, ketika semua orang mencapai kesepakatan, mereka berjalan ke perbatasan desa dan ritual dengan menempatkan sasi persis di tengah jalan. Itu adalah tanda bahwa perusahaan dilarang melintas
Sekelompok relawan pilihan akhirnya ekspedisi panjang mengarungi pedalaman Aru untuk menjangkau berbagai komunitas adat. Tugas yang menantang bagi para relawan adalah menjelaskan, kerentanan ekologi dan ekosistem Aru yang bisa hancur dengan kehadiran perkebunan tebu berskala raksasa.
Costansius Kolatfeka, aktivis yang sebelumnya turut mengantarkan spanduk ke Dobo, mengajukan diri menetap sebentar dan mendampingi para aktivis dan rakyat untuk terus berkampanye. Dia tinggal selama tiga bulan di Aru dan bolak-balik antara Dobo dan kampung-kampung di pedalaman bersama dengan relawan lain.
Penduduk desa kemudian dapat memahami apa jadinya kehidupan mereka jika tanpa hutan. Hutan berperan sebagai insulator termal atau penahan panas. Costansius menjelaskan, seandainya hutan di Aru hancur, maka Aru akan jadi tempat yang jauh lebih panas. Hutan serupa spons raksasa yang menyerap hujan dan menjaga ketersediaan air tanah. Tanpa hutan, Aru akan kering dan rentan terhadap bencana banjir. Hutan juga mencegah erosi yang menahan tanah dengan akar-akar pohon yang tumbuh di dalamnya. Tanpa hutan mangrove,- yang sebagian besar menjadi konsesi Menara Group — maka sebagian besar kawasan pesisir akan sirna
Costansius juga memberikan pemahaman mengenai cara kerja mega proyek perkebunan. Bahan-bahan kimia berbahaya akan digunakan secara massif guna menumbuhkan tanaman tebu yang kemungkinan disemprotkan dengan helikopter.
Sebaran bahan-bahan kimia pun dapat terserap ke sungai dan laut, hingga ikut menyuburkan ganggang yang malah menciptakan zona mati akibat polusi. Sementara sumber daya alam di laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat secara turun temurun, akan musnah. Kalau masyarakat Aru ingin memperbaiki nasib mereka dengan mendatangkan investor, kata Costansius, sebaiknya masyarakat melakukan pengembangan sektor perikanan karena Aru merupakan kawasan kaya dan potensial di Indonesia. Membabat hutan justru akan mendatangkan bencana.
Simon Kamsy adalah salah seorang dari relawan asal Aru yang bekerja untuk konservasi bakau di Kepulauan Aru. Pria berusia 50 tahun itu begitu berapi-api menentang proyek perkebunan tebu. Dia berkomentar- terlepas dari perlindungan hukum atas wilayah adat mereka melah — masyarakat Aru adalah paling berhak menentukan nasib tanah mereka, bukan para politisi di Ambon maupun Jakarta.
“Nenek moyang kita sudah ada di sini jauh sebelum negara,” katanya.
“Kalau perusahaan yang begini besar lalu mengambil semua dari kita, ada peluang bagi kita untuk hidup di situ atau tidak? Tapi, kalau tidak ada peluang, maka kita akan jadi penonton di negeri kita sendiri.”
Menurut dia, beragam flora dan fauna yang mendiami Aru, merupakan satu-satunya di dunia. “Burung cendrawasih kita punya, kangguru kita punya, kakatua hijau, merah, hitam kita punya semua di sini yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Jadi, kalau semua itu punah, habis kita tidak punya identitas diri sebagai orang Aru.”
Untuk membakar semangat penduduk desa, para aktivis memutar film-film. Salah satu film itu berjudul “The Burning Season” (Musim Kebakaran) yang berkisah perjuangan penyadap karet dan aktivis Chico Mendes di Brasil yang tewas dibunuh demi menyelamatkan hutan Amazon dan melindungi hak masyarakat adat.
Seorang warga berpendapat kepada seorang antropolog dari universitas di Belanda yang sedang berkunjung, bahwa film itu telah membuka mata soal apa yang kelak akan dihadapi masyarakat seandainya perusahaan mendapatkan apa yang mereka incar. Sebelumnya, satu-satunya informasi yang mereka terima terkait dengan perkebunan, berasal dari tim surveyor perusahaan. Kalau sebelumnya penduduk desa begitu baik mendampingi tim surveyor, kini warga meneguhkan hati untuk menentang jalannya proyek perkebunan.
Namun, segala upaya penolakan warga yang dihimpun para aktivis, bisa saja sia-sia kalau mereka tidak mampu menunjukkan bukti. Maka, mereka meminta masyarakat Aru membubuhkan tanda tangan yang menyatakan, benar masyarakat tak menginginkan proyek itu. Mereka juga mengambil foto dan video orang-orang yang menuliskan nama mereka untuk menegaskan hal itu dilakukan tanpa ada paksaan.
“Kami tidak bisa membawa semua orang untuk ikut aksi protes di Dobo,” kata Simon. “Surat-surat itu menunjukkan bahwa kita tidak mau. Kalau tidak ada tanda-tangan penolakan, anggap saja masyarakatnya terima, kan?”
Surat-surat itu juga penting bagi para aktivis di Ambon untuk membuktikan bahwa mereka bukan provokator yang bertindak tanpa persetujuan masyarakat Aru. “Itu menunjukkan, kalau kami bertindak bukan demi kepentingan kami sendiri, melainkan masyarakat,” ucap Jacky.
Di atas semua itu, buku berisi tanda tangan serta dokumentasi foto dan video itu sebagai bukti yang mereka bawa dan tunjukkan kepada pemerintah kalau masyarakat Aru yang memiliki lahan, tidak menyetujui proyek Menara Group.
Ketika para aktivis berkeliling ke seluruh Kepulauan Aru, kampanye kian memuncak di Ambon. Para pendemo terus mendesak Komisi Penilai Amdal dan beberapa anggota DPRD Maluku mulai melontarkan kritik terkait proyek perkebunan tebu melalui media lokal.
Politisi Mercy Barends pun kian blak-blakan. “Tanah Aru menangis malam ini!” teriaknya saat berpidato di sebuah konser yang diselenggarakan untuk menggalang dukungan di Ambon.
“Semua yang masih bernafas dari darah Aru tidak boleh diam! Kita jual tanah Aru, kita jual kehidupan kita! Jika kita menjual tanah Aru, maka kita sedang menjual diri kita sendiri.”
Video pidato Mercy:
Pada pertengahan Oktober 2013, Mercy memfasilitasi serangkaian audiensi di DPRD Maluku di mana perwakilan dari gerakan Save Aru dan Menara Group masing-masing mempresentasikan kasus mereka.
Abraham Tulalessy dan Semmy Khouw mewakili kalangan akademisi yang berpihak pada kelompok aktivis. Selama proses hearing di depan anggota parlemen itulah, Semmy sempat mengancam mengundurkan diri dari Komisi Penilai Amdal apabila Gubernur Maluku tetap mendukung proyek itu. “Kalau begitu, untuk apa kita ada di Komisi Amdal ini?” katanya.
Di sisi lain, perwakilan perusahaan bersikukuh, mereka punya kepentingan yang baik bagi kesejahteraan masyarakat Aru. Mereka juga mengatakan, akan menggunakan “teknologi ramah lingkungan” untuk mengembangkan perkebunan. Padahal, klaim itu ditolak oleh para kalangan akademisi. Perusahaan juga berujar kalau Aru “adalah mata rantai dari tebu dunia.” Gagasan itu dianggap konyol oleh Mercy.
Selain Mercy, tampaknya gerakan Save Aru hanya memiliki sedikit pendukung dari kalangan DPRD. Sebagian legislator menuduh mereka tak lain adalah boneka dari pesaing perusahaan perkebunan yang juga ingin mendapatkan konsesi di Aru.
Pada satu kesempatan, ada pula pendemo yang hadir menyuarakan dukungan kepada proyek itu. Mercy yakin Menara Group telah menerbangkan mereka dari Aru.
“Mereka dapat uang dari Menara Group, dan sebagian mereka datang ke kantor saya bilang, ‘Ibu Mercy, minta maaf,’” ucap Mercy, mengingat kejadian itu. “Gila.”
Sebelum Semmy mendapat giliran bicara, seorang eksekutif perusahaan bertanya apakah mereka dapat berbicara empat mata. Di ruang sebelah itulah, Semmy, menurutnya, ditawari uang puluhan juta rupiah yang berkali lipat dari gajinya berbulan-bulan, agar bersedia mendukung proyek perkebunan tebu itu. Pejabat perusahaan ini membawa uang tunai di dalam kantong plastik.
Semmy menolak. Menara Group tidak menanggapi beberapa permohonan untuk berkomentar selama proses penulisan artikel ini.
Terlepas dari bukti kecacatan hukum dan apa yang terjadi dalam proses-proses jajak pendapat, pada akhirnya Komisi Penilai Amdal memutuskan, menyetujui proyek perkebunan ini. Hal itu kemudian memberi jalan bagi Menara Group untuk melangkah menuntaskan perizinan terakhir dari Menteri Kehutanan di Jakarta.
“Kami semua bisa berakhir di penjara,” kata Abraham Tulalessy, tampak frustrasi kepada wartawan. Dia adalah satu dari sedikit anggota Komisi Penilai Amdal yang berbeda pendapat. Dia menyadari, kalau anggota lain memahami dampak yang bisa ditimbulkan oleh proyek perusahaan itu. Namun, mereka enggan bersuara. “Mereka tahu (dampaknya),” katanya. “Tapi mereka berpikir, menolak pun tidak ada guna. Karena tetap jalan. Ini sudah dianggap sesuatu yang pasti.”
VI. ‘Di balik layar, kami terluka’
Pada akhir Oktober 2013, Glenn Fredly muncul di acara bincang-bincang televisi Sarah Sechan dengan topi bertuliskan “Save Aru.” Musisi asal Ambon itu saling melempar canda dengan Sarah.
Di tengah-tengah momen penuh canda, Sarah bertanya apa lagi yang sedang digeluti oleh Glenn. “Kampanye Save Aru,” katanya. Mantan VJ MTV itu pun menyimak dengan serius penjelasan Glenn mengenai ancaman yang dihadapi oleh hutan di Aru yang menjadi rumah bagi cendrawasih dan satwa-satwa endemik lain.
“Kalau dibabat habis, mereka mau ke mana?” Sarah ikut menimpali dengan menanyakan nasib fauna di Aru. Glenn pun mengumumkan petisi online yang dibuat untuk mendesak pemerintah membatalkan proyek perkebunan di Aru.
Kampanye Save Aru kini telah melibatkan selebritis. Kemunculan Glenn Fredly di Sarah Sechan, salah satu pertanda awal bahwa gerakan telah merambah ibu kota negara di mana ujung pertempuran menemui medannya terkait proses perizinan akhir yang dibutuhkan perusahaan.
Sejumlah warga Aru juga mengunjungi Jakarta. Mercy Barends memfasilitasi mereka bertemu dengan pejabat pemerintah dari berbagai lembaga di mana mereka dapat kesempatan menjelaskan langsung ancaman yang dihadapi dan prosedur proyek perkebunan yang tak sesuai aturan.
Perwakilan masyarakat Aru juga berdialog dengan beberapa organisasi masyarakat sipil lingkungan terbesar di Indonesia, termasuk AMAN dan Forest Watch Indonesia (FWI).
Kedua organisasi itu memiliki pendanaan internasional dan staf profesional yang berpengalaman dalam advokasi dan investigasi serta berjanji untuk memperkuat kerja-kerja kampanye. Jacky paham bagaimana caranya untuk tetap berhati-hati dalam melibatkan organisasi-organisasi pendukung.
Hingga kini, gerakan Save Aru telah dibangun oleh orang-orang Aru dan Maluku secara umum yang bergerak dengan anggaran terbatas. Mereka meluangkan waktu tanpa berharap imbalan apa-apa. Bagi provinsi di kawasan timur Indonesia itu, capaian-capaian gerakan ini merupakan suatu prestasi luar biasa. Anak-anak muda di Ambon menggalang dana dengan menjual kaos, kue, dan donasi yang keuntungan untuk mencetak material kampanye, membeli kamera untuk para aktivis di Dobo, dan membayar biaya website yang dibuat.
Simon Kamsy, Costansius Kolatkefa, dan tim lain yang berkeliling kampung, umumnya menggunakan perahu penumpang tanpa dipungut bayaran. Jacky menyebut, “semangat kesukarelawanan” itu sangat penting bagi keberhasilan gerakan. Meski mereka menyambut baik dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Jakarta, kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara dukungan organisasi masyarakat sipil dan peran aktif masyarakat.
“Dalam banyak gerakan advokasi lingkungan, masyarakat diwakili lebih banyak oleh LSM yang datang dan mendukung mereka,” kata Jacky.
“Hingga mereka menjadi sangat rapuh. Dalam tekanan yang dilakukan kemudian kepada masyarakat, mereka akan hancur dan pecah di bawah.”
Menjelang akhir tahun 2013, kata-kata Jacky diuji. Ketika para aktivis terfokus pada Jakarta, kekerasan justru terjadi di rumah mereka. “Mungkin lihat kampanye di media sosial seperti itu,” ucap Maichel Koipuy, jurnalis Aru. “Tapi di balik layar, pergerakan ini juga sebenarnya terluka.”
Samuel Irmuply, aktivis mahasiswa dan anak dari Mama Anatje Siarukin, mengatakan, kalau dia diserang dan dipukuli di Dobo oleh sekelompok orang Aru yang berpihak pada perusahaan. Sebagai balasan, kelompok Aru lain membakar rumah Plt. Bupati Abraham Gainau dan menudingnya telah melindungi para penyerang yang sebenarnya.
Kelompok yang terakhir kemudian ditangkap dan dipukuli brutal oleh polisi, seperti yang dikutip dari cuitan pada akun Twitter kampanye Save Aru. Tak ketinggalan, para aktivis pun dikirimi ancaman pembunuhan melalui telepon. Samuel bilang, “Kami diteror.”
Mika Ganobal, menerima kabar bahwa ada gerombolan orang yang hendak membakar rumahnya. Konon, mereka ditunggangi oleh seorang pejabat senior yang menjabat di Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru.
Malam itu, Ananias Djonler — juga pernah bersaing melawan Theddy untuk posisi bupati — , menghabiskan sepanjang malam dengan Mika dan istrinya yang sedang hamil, untuk bersama-sama berjaga di rumah. Pria berusia awal 40-an itu punya hubungan jabu (semacam bentuk kekerabatan khusus) dengan orang yang mengirimkan segerombolan orang itu.
Jadi, kalau dia diketahui berada di kediaman keluarga Mika, maka pejabat senior ini mungkin ragu untuk menjalankan niatnya.
“Kau tak diperbolehkan menikah atau berperang satu sama lain,” ucap Ananias menjelaskan tentang unsur dalam jabu. “Atau juga saling bunuh. Itu salah satu kearifan yang patut disyukuri.”
Kekerasan dan kehadiran aparat bukan tanpa preseden. Komnas HAM memantau ribuan konflik tanah di Indonesia dan mencatat keterlibatan tentara dan polisi dalam membantu perusahaan merampas tanah-tanah milik masyarakat adat. Itu adalah potret yang terlihat di berbagai belahan bumi, mulai dari Asia Tenggara, Afrika, sampai Amerika Latin, di mana kepentingan politik dan perusahaan bersekongkol dan mengorbankan masyarakat di kawasan perdesaan.
Sebuah analisis Global Witness menemukan, 95 orang di seluruh dunia dibunuh karena memperjuangkan tanah dan hutan mereka dari perusahaan pada 2013
Pasca-Putusan MK 35 mengenai hutan adat, Komnas HAM kemudian mengadakan Inkuiri Nasional, ini serangkaian audiensi di berbagai daerah di Indonesia untuk melihat kasus-kasus kekerasan atas dalih pembangunan yang menimpa masyarakat adat di kawasan hutan. Pada awal Desember 2013, Komnas HAM berangkat ke Aru untuk mempelajari gerakan perlawanan terhadap perkebunan tebu sebagai bagian dari riset awal untuk Inkuiri Nasional.
Pada waktu hampir bersamaan, belasan tetua adat Aru bermusyawarah di Dobo untuk mendirikan wilayah pengorganisasian AMAN di Aru. Namun, polisi mencoba membubarkan musyawarah itu dengan alasan ketiadaan izin. Ketua AMAN Maluku Yohanes Balubun yang melakukan perjalanan ke Dobo untuk menghadiri musyawarah, diseret ke kantor polisi.
Peristiwa-peristiwa ini merupakan potret buram yang mendesak Komnas HAM menyelidiki lebih lanjut. Tahun 2016, Komnas HAM mengeluarkan laporan Inkuiri Nasional berjudul “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.” Laporan itu memaparkan temuan-temuan yang mencakup penggusuran, kekerasan, maupun intimidasi terhadap masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Hal ini kembali menjadi perhatian para aktivis terkait penindasan yang dialami kala itu.
Walau begitu, masih ada saja yang mempertanyakan motif perjuangan mereka terhadap Aru. Jacky dan tim lain di Ambon kerap kali dianggap sebagai orang luar yang ikut campur urusan rumah tangga Aru.
“Yang saya heran itu mereka yang berteriak atas nama orang Aru, ternyata bukan orang Aru,” kata seorang Aru bernama Siprianus kepada wartawan di Ambon.
“Rasanya tidak ada pemegang hak ulayat yang keberatan dengan investasi itu karena kehadiran perkebunan tebu strategis untuk pengembangan perekonomian Kabupaten Kepulauan Aru maupun Maluku secara umum,” katanya.
Ada pula yang masih meragukan integritas kelompok aktivis Dobo sendiri dengan mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang diatur perusahaan lain pesaing Menara Group. “Tuduhan ini secara terus-menerus dikembangkan supaya timbul antipati sekaligus memecah-belah pergerakan melawan Menara Group,” tulis Rudi Fofid dalam artikel berjudul “Daud vs Golliath di Tanah Aru” yang diterbitkan Maluku Online pada pertengahan Desember 2013. “Inilah politik devide et impera yang harus diwaspadai oleh orang Aru.”
Di daerah yang belakangan ini dihancurkan oleh kekerasan, adu domba bisa jadi sangat berbahaya. Jacky menekankan, kekompakkan merupakan prasyarat untuk memenangkan kampanye. Dia juga memahami bagaimana hal-hal tertentu bisa berubah suram. Segala sesuatu bisa mulai kacau balau dengan kehadiran Menara Group yang terus memicu ketegangan di antara masyarakat yang bertikai.
Di Aru Selatan, terdapat dua desa tetangga, Feruni dan Marafenfen, yang masing-masing saling bersitegang soal klaim batas wilayah. Perselisihan itu telah lama terjadi, namun tidak pernah berubah menjadi serius. Lantas, ketika surveyor perusahaan mengajak warga Feruni sebagai pendamping ke kawasan yang berada dalam sengketa, hal itu mendorong warga dari Marafenfen angkat busur dan anak panah.
Jacky mencoba mendorong para aktivis yang berkampanye tetap pegang kendali. “Saya katakan untuk mereka, tidak semua perjuangan bisa dimenangkan,” katanya.
“Tetapi sekalipun kalah, sejarah akan membuktikan, bahwa kita pernah berjuang, kita pernah bertaruh untuk kemanusiaan, untuk lingkungan, sebab kita tahu persis bahwa di masa depan sejarah akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah.”
VII. ‘Pengemis bermangkuk emas’
Pada suatu pagi Februari 2014, seorang penyaji menghidangkan kopi dan camilan ke ruang pertemuan di Kompleks Angkatan Laut di Aru Selatan. Mereka yang duduk mengelilingi meja, adalah Plt. Gubernur Maluku Saut Situmorang, Kapolres Kepulauan Aru AKBP Muhammad Roem Ohoirat, Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Jayapura, dan sejumlah tentara dan pejabat pemerintah setempat. Chairul Anhar, Presiden dan CEO Menara Group, turut hadir bersama para staf.
Maichel Koipuy sebagai seorang jurnalis muda, juga berperan. Berita tentang pertemuan di pangkalan angkatan laut mengalir ke Maichel melalui penduduk desa yang tinggal di daerah lokasi itu. Informasi-informasi rahasia itu terus dihimpun dan akan menjadi bahan kampanye. Dengan cara itulah mereka bisa mendapat salinan izin-izin Menara Group dan menemukan bukti bahwa ternyata anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Aru pernah bertemu dengan Menara Group di Jakarta. Tak lama kemudian, foto-foto dari informan mereka pun tiba di tangan Maichel.
Inti dari rapat itu diteruskan kepada mata-mata lain. Saut telah meyakinkan Chairul bahwa perusahaan itu akan dapat lampu hijau untuk mulai membangun pabrik pada April tahun itu. Dia bilang, Aru hanya hamparan alang-alang. “Investor harus diberi kesempatan mengelola lahan di Aru,” katanya.
Lalu, rantai informasi kian menyebar. Para aktivis mengunggah serangkaian posting pada media sosial terkait pertemuan itu. Keesokannya, salah satu koran terbesar di Maluku, yaitu Kabar Timur, melaporkan, Saut naik pesawat yang disewa untuk terbang ke pangkalan angkatan laut di Marafenfen sebelum bertolak ke Kalar-kalar dengan speedboat. Rapat rahasia berlangsung selama lebih dari lima jam.
Berita itu menggemparkan masyarakat yang kian curiga pada keputusan yang ditetapkan secara tertutup. Hari berikutnya, Kabar Timur menampilkan, kisah itu pada halaman depan edisi cetak bersama dengan karikatur Saut yang membawa tebu untuk Menara Group.
Dalam beberapa hari, berita terkait pertemuan itu tersebar luas ke seluruh Maluku.
Pengungkapan itu adalah pukulan hebat terhadap kredibilitas Saut yang seharusnya bersikap netral pada konflik di Aru. Para jurnalis di Ambon, akhirnya mengaitkan kisah ini dan mencecar dengan pertanyaan terkait kehadirannya di pangkalan angkatan laut itu. Dia terus berdalih dengan mengatakan, Maluku sangat miskin dan membutuhkan investasi swasta. Saut juga mengutarakan, kalau Menara Group tidak memulai operasi, maka dia akan mencabut izin-izin dan memberikan kepada perusahaan lain.
Perhatian terhadap kasus itu juga mulai dibangun di Jakarta. Investigator dari Forest Watch Indonesia telah melakukan pertemuan dan pengumpulan data pada Februari dengan para aktivis di Aru. Pada awal Maret, mereka merilis temuan dan mendapatkan lebih banyak lagi peliputan media yang menyoroti kecurigaan terhadap proses perizinan.
Sementara itu, Jacky berhasil menggalang dukungan Gereja Protestan Maluku dengan strategi serupa dengan yang pernah gunakan terhadap Universitas Pattimura. Menjelang pertemuan ke-10 dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia atau World Council of Churches di Busan, Korea Selatan akhir 2013, dia mengatur beberapa tokoh gereja di Jakarta untuk memasang spanduk Save Aru.
“Delegasi Indonesia terkejut sekali,” kata Jacky. Kemudian, ketika gerejanya mengadakan konferensi di Maluku, dalam presentasi dia menekankan bahwa kampanye Save Aru menjadi sorotan kalangan internasional. “Sekali lagi, ini tentang identitas,” katanya. “Bagaimana kamu bisa membiarkan orang lain bicara tentang masa depanmu, sementara kamu tidak mengatakan apa-apa?”
Setelah itu, pengurus gereja membentuk komite khusus untuk Aru yang menginstruksikan para pemimpin paroki di seluruh Aru agar mendukung kampanye. Para tokoh gereja pun ikut masuk ke hutan untuk melakukan “sasi gereja” dengan mengenakan jubah hitam dan ikat kepala merah. Di Maluku, ikat itu adalah simbol yang artinya bersiap untuk perang.
Di Dobo, sasi yang paling kuat levelnya, akhirnya dipindahkan dari gedung DPRD Kabupaten Kepulauan Aru, setelah para politisi yang menjabat berjanji menentang perkebunan. Orang-orang tua yang bertelanjang dada dan berikat kepala merah memandang anggota parlemen yang mabuk sopi (fermentasi air aren yang berkadar alkohol) sebagai bagian dari ritual. Seorang perempuan kesurupan. Suaranya berubah. Mereka percaya leluhur telah merasuki dan memerintahkan agar orang-orang untuk bersumpah melawan Menara Group.
Maka, makin sulit bagi para pendukung proyek mengabaikan kampanye karena mereka hanyalah segelintir kelompok yang tak mencerminkan keinginan masyarakat kebanyakan. Kini, upaya memberikan peringatan kepada penduduk yang tinggal di pedalaman, sudah berlangsung berbulan-bulan.
Para aktivis pun rampung mendapatkan pernyataan penolakan yang ditandatangani — baik itu oleh komunitas yang ditemui secara langsung atau perwakilan mereka di Dobo — oleh 90 desa dari 117 desa yang ada di seluruh Kepulauan Aru. Dengan kesadaran masyarakat yang meningkat pesat, pejabat mana pun yang hendak terus melanggengkan proyek perkebunan, akan menghadapi berbagai pertanyaan kritis terkait dengan alasan mereka. Namun, Menara Group tampaknya belum mau menyerah dalam pertarungan seputar pencitraan.
Pada pertengahan Maret 2014, Pemkab Kepulauan Aru mengundang para kepala desa dari seluruh Kepulauan Aru pada pertemuan di Gedung Sita Kena di Dobo. Dikatakan bahwa tujuan rapat itu adalah untuk mensosialisasikan Undang-undang Desa terkait tata kelola birokrasi desa. Namun, ada pula tujuan lain. Mika mengendus kalau ada beberapa pejabat perusahaan turut hadir.
Para aktivis khawatir, catatan kehadiran yang bertanda tangan para pimpinan desa itu akan disalahgunakan di mana seolah-olah Menara Group telah mensosialisasikan rencana mereka dan itu dikonsultasikan dengan baik. Atau, diam-diam memanipulasi para kepala desa seolah menyetujui proyek itu. Meski tahapan untuk konsultasi dengan masyarakat Aru telah lama berlalu, tetapi ada kesan kalau perusahaan ingin menunjukkan beberapa dari mereka yang mendukung perkebunan tebu agar mendesak perusahaan segera merealisasikan.
Pada pertemuan, beberapa eksekutif Menara Group duduk di bagian depan menghadap para pimpinan desa yang duduk dengan kursi-kursi plastik. Di barisan pertama adalah jajaran pejabat pemerintah kabupaten, lalu sepasukan aparat, diikuti lebih banyak lagi staf Menara Group yang bersandar pada kursi maupun sofa mewah.
Di antara mereka terlihat sosok Dessy Mulvidas, tangan kanan Chairul Anhar. Pria berusia 49 tahun itu mengenakan kacamata dan menatap sambil merokok, sedangkan koleganya juga ada di bagian depan ruangan, yakni Hafiz Arief, pria botak dengan perut buncit, serta Khatib, lelaki berkumis tipis dengan kemeja batik warna-warni. Manfaat dari proyek perkebunan tebu dipaparkan dalam presentasi PowerPoint. Nama Dessy dan Hafiz turut dipinjam untuk mendukung entitas perusahaan lain yang sengaja dipakai untuk kepentingan proyek itu.
Di antara hadirin itu, turut duduk dengan tenang, antara lain Simon Kamsy, pelestari mangrove; Dolfince Gaelagoe, guru pensiunan dari Marafenfen; serta aktivis lain yang menyelinap masuk ke gedung pertemuan. Ketika tiba saatnya bagi masyarakat bicara, Simon segera mengambil mikrofon. Dia telah bersiap dengan tas yang berisi buku kumpulan tanda tangan masyarakat Aru yang menyatakan penolakan terhadap rencana Menara Group.
Saat Simon berjalan dengan penuh keberanian menuju meja di depan ruangan. “Saya tidak takut, karena apa yang saya perjuangkan itu adalah saya punya hak secara leluhur,” kenangnya. “Saya tidak takut sedikitpun. Kalau pada saat itu saya mati, ya mungkin yang kuasa itu sudah menentukan jalan hidup saya.”
Simon kemudian mengeluarkan tumpukan kertas-kertas dari tasnya. “Ambil,” katanya pada para eksekutif perusahaan. “Ini dokumen penolakan dari masyarakat adat, menolak perusahaan Bapak beroperasi di Kabupaten Kepulauan Aru.”
Moderator rapat mencoba menertibkan keadaan dengan memanggil orang lain untuk bicara. Tetapi, para kepala desa justru berdiri satu per satu menyatakan penolakan terhadap perkebunan tebu. “Kami tidak mau sampai kami menerima,” kata salah satu dari mereka. “Lalu, kalau kami pulang di kampung, orang kampung bunuh kami.”
Seorang eksekutif perusahaan ikut bicara di depan ruangan. “Kami tidak memaksakan agar Menara Group masuk Aru,” katanya. “Tapi orang Aru, janganlah menjadi pengemis bermangkuk emas.”
Orang-orang bersorak. “Orang Aru bukan pengemis. Kamu justru pengemis!” teriak Dolfince. “Diusir, datang, diusir, datang — itu pengemis! Orang Aru tidak pernah mengemis. Kami merasa nyaman di negeri kami.” Ketika kekacauan terjadi, rapat ditutup tanpa ada kesepakatan.
Para aktivis percaya, mereka telah membongkar upaya Menara Group untuk menutup-nutupi ketidaklayakan proyek mereka. Besoknya, sekelompok penduduk desa berkumpul di luar sebuah hotel di Dobo yang menjadi tempat menginap para pejabat perusahaan. Orang-orang berteriak menyerukan perusahaan tidak akan diterima di Aru.
Seminggu kemudian, FWI dan AMAN mengorganisir unjuk rasa di mana masyarakat berbaring di pusat kota metropolitan. Bersama dengan Mercy Barends, tim kelompok advokasi tengah membangun jejaring di Jakarta untuk mendesak pembatalan proyek perkebunan tebu.
Tak butuh waktu lama bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), sebuah gugus tugas di bawah koordinasi langsung presiden, untuk mengendus kasus itu.
“Kami di Unit Kerja Presiden ditugasi untuk menyelidiki lebih lanjut,” kata salah seorang anggotanya. “Dengan alasan itu, saya ingin mencari pendapat yang tidak bias tentang perkara ini. Apalagi, ini sudah menjadi perhatian internasional.”
Di Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mendekati masa akhir jabatannya. Beberapa bulan lagi, dia akan tersingkir dari posisi politiknya setelah pemilihan presiden. Joko Widodo menjadi kandidat kuat dengan visi dan rencana-rencana program yang terdepan. Kementerian Kehutanan sendiri telah dihantui skandal korupsi selama beberapa dekade terakhir. Kementerian itu punya andil besar terhadap eksploitasi sumber daya hutan di Indonesia.
Sekarang, izin-izin untuk Menara Group tergeletak di meja Menteri Kehutanan. Gerakan Save Aru, kian membesar dan tak terbendung lagi. Dukungan publik begitu luas melewati batas-batas, bahkan hingga ke mancanegara. Perusahaan dan pejabat pemerintah tak lagi dapat mengelak dari serbuan pada media sosial Save Aru.
Perjuangan masyarakat juga mendapat respon positif para tokoh. Pada acara berskala internasional yang mengangkat tema pada persoalan iklim di Ambon, Costansius Kolatfeka berpidato menentang proyek perkebunan tebu dengan dukungan dari mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, di sisinya. Petisi online yang digagas Glenn Fredly memperoleh hampir 15.000 tanda tangan yang mendesak Zulkifli untuk membatalkan proyek ini. Di Jakarta, para aktivis dapat bertemu dengan penyelidik KPK dan menjelaskan mengenai informasi seputar proyek.
“Dukungan bertambah dan terus bertambah, bukan lagi orang Aru yang bicara tentang land grabbing ini,” kata Mercy Barends. “Tetapi orang luar negeri bicara tentang Save Aru, orang Jakarta bicara tentang Save Aru, dan banyak orang bicara tentang Save Aru.”
Kala tekanan memuncak, Zulkifli menginstruksikan stafnya untuk meninjau amdal yang sudah dikecam para akademisi di Ambon. Pada 11 April, delapan bulan setelah Collin Leppuy dulu pernah bertamu ke rumah Jacky untuk pertama kalinya, sang menteri mengeluarkan pengumuman. Zulkifli bicara kepada wartawan di sela-sela konferensi pers di Jakarta dengan mengutarakan kalau Kementerian Kehutanan menetapkan Kepulauan Aru “tidak cocok ditanami tebu” dan proyek milik Menara Group akan dihentikan.
Meski berita itu menjadi kemenangan bagi para aktivis dan rakyat Aru, namun mereka melihat dengan hati-hati. Sebab, belum ada pembatalan formal keluar dan proyek itu masih menerawang selayaknya hantu yang bergentayang. Kali ini, Zulkifli memegang janji. Dia benar-benar tidak menandatangani izin-izin akhir proyek perkebunan tebu di Aru, meski begitu dia tetap meneruskan rangkaian izin berbeda yang akan berpeluang menghancurkan hutan secara masif di tempat lain menjelang masa-masa kritis kepemimpinan Presiden SBY.
Pada Oktober 2014, posisi Zulkifli, tak jadi menteri lagi. Kementerian Kehutanan pun tak lagi ada. Presiden Joko Widodo menghadirkan kementerian baru, dengan penggabungan dua kementerian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Siti Nurbaya Bakar, memimpin kementerian ini. Masyarakat adat menaruh harapan bagi presiden yang turut mereka menangkan itu.
Pada kesempatan pertama bertemu Menteri LHK Siti Nurbaya, Mercy menantangnya dengan pertanyaan: apakah proyek itu akan dihidupkan lagi? Siti Nurbaya menegaskan, proyek itu sudah mati. Kalau perusahaan Menara Group masih berkeliaran di Aru, kata Siti, mereka ibarat mayat hidup. “Sampai hari ini, beliau tidak mencabut keputusannya,” kata Mercy.
Selama delapan bulan, kampanye yang diawali hanya oleh belasan mahasiswa, seorang pendeta, dan dua kata pada selembar poster itu telah berkembang menjadi gerakan rakyat yang tangguh di daerah yang kerap dianggap terpencil dan miskin di bagian timur Indonesia.
Gerakan Save Aru berhasil mengalahkan perusahaan kuat dan berusaha meraup uang miliaran dolar dengan upaya mengubah tanah-tanah untuk perkebunan tebu raksasa. Mereka menang!
“Perusahaan punya support, punya infrastruktur, punya aparat keamanan dan lain-lain,” kata Jacky. “Dengan gampang bisa menghancurkan gerakan-gerakan masyarakat adat bila kekuatan identitas tidak kuat di situ. Jadi memperkuat identitas, memperkuat spirit sebagai volunteer adalah cara kita untuk melawan kekuatan-kekuatan yang di luar masyarakat.”
Makin keras mereka mendesak, makin banyak pula yang mereka bongkar terkait sistem yang berusaha menaklukkan mereka. Mereka menelanjangi proses yang cacat, ilmu pengetahuan yang diabaikan, hubungan perusahaan dengan para pejabat maupun politisi, dan aspek legal terhadap hak masyarakat adat. Dengan menggalang dukungan luas di seluruh Indonesia dan dunia, mereka akhirnya mampu menikam jantung Menara Group di Aru.
Pada hari sama, ketika Zulkifli mengumumkan penghentian proyek perkebunan tebu itu, Mika dikaruniai anak keempat. Istrinya melahirkan bayi lelaki yang mereka namai Leisava. “Lei” untuk lelaki berarti anak lelaki dan “sava” untuk Save Aru.
Penutup
Menara Group telah diusir dari Aru. Di provinsi tetangga, yakni Papua, mereka punya rencana serupa dan luput dari perhatian publik. Di tanah itu Menara Group adalah pemegang saham minoritas terhadap kawasan yang bakal jadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia setelah transaksi jual-beli konsesi dengan para investor bertopeng. Pada penyelidikan sebelumnya oleh Mongabay, Tempo, Malaysiakini, dan The Gecko Project, terungkap beberapa aktor yang sama dengan kasus Aru, yaitu Chairul Anhar dan Dessy Mulvidas.
Kemiripan antara proyek perkebunan di Aru dan Papua sangat gamblang. Keduanya memiliki skema berdasarkan izin-izin keluar oleh kepala daerah yang berakhir di balik jeruji atas tindak pidana korupsi. Begitu pula dengan pengabaian proses konsultasi dengan masyarakat terdampak, pembuatan amdal diragukan, dan relasi dekat dengan polisi dan militer setempat.
Tidak seperti Aru, rencana proyek perkebunan di Papua tidak segera direspon dengan gerakan rakyat yang terkonsolidasi dengan kuat. Sejumlah komunitas adat di Papua memang telah protes, menempatkan sasi di tanah-tanah adat mereka, serta membangun jaringan kerja dengan aktivis di Jakarta. Namun, semua itu belum cukup untuk menarik perhatian dunia secara luas dan masif.
Kini, hutan di Papua mulai terbabat habis dan mengeluarkan emisi GRK dalam jumlah besar. Industri perkebunan mengincar salah satu kawasan hutan terbesar yang tersisa di bumi ini. Sementara itu, Chairul Anhar tengah menjalin kemesraan dengan para petinggi di Indonesia dan Malaysia, baik itu pebisnis maupun politisi kelas kakap. Pada Februari ini, anak perempuan Chairul menikah dengan putra Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birkorasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo. Perkawinan mereka turut disaksikan Presiden Jokowi.
Situasi yang memungkinkan Menara Group untuk berpijak di Aru maupun Papua, sebagian besar tidaklah berubah. Setelah Putusan MK 35, Pemerintahan Joko Widodo baru menetapkan hutan adat di 55 komunitas dengan luasan mencapai 24.624 hektar saja. Namun, AMAN telah melakukan pemetaan dan menyerahkan kepada pemerintah sekitar 10,56 juta hektar hutan adat di Indonesia yang mencakup 893 komunitas adat. Sementara itu, keberadaan RUU masyarakat adat yang menegaskan pengakuan hak masyarakat adat secara penuh, masih belum juga disahkan.
Negara terus menggunakan kewenangan untuk mempromosikan model pembangunan yang dikendalikan oleh proyek-proyek perkebunan berskala besar yang seringkali tidak memperhatikan masyarakat yang terdampak. Pada September 2019, gelombang aksi unjuk rasa telah terjadi di berbagai kota di Indonesia. Rangkaian demonstrasi itu merupakan terbesar setelah Reformasi ’98. Hal ini puncak protes mahasiswa dan aktivis atas kinerja parlemen terkait sejumlah kebijakan kontroversial, termasuk upaya melemahkan KPK melalui revisi UU KPK serta upaya yang justru menguatkan korporasi dalam eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat.
Puluhan ribu mahasiswa (bersama aktivis dan buruh) berkumpul di depan Gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta. Ratusan pendemo terluka dan dilarikan ke rumah sakit dalam bentrokan yang terjadi, sementara terdapat pula ratusan ditangkap. Hingga 10 Oktober 2019 ini, total terdapat lima korban tewas karena serangan pasukan polisi kepada para mahasiswa aksi. Pada saat demonstrasi berlangsung, tagar #ReformasiDikorupsi menjadi topik utama di Twitter.
Pada pidato pelantikan Presiden Joko Widodo, periode kedua 20 Oktober lalu, dia menyinggung soal penyederhanaan aturan (omnibus law) guna melancarkan investasi. Februari 2020, draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law) sudah pemerintah serahkan ke DPR. Isi draf, banyak menuai protes, dari berbagai aturan lingkungan “menyusut” sampai pelemahan sanksi hukum kepada korporasi. Berbagai kalangan khawatir, RUU yang hadir ini hanya mengakomodasi kepentingan pebisnis dan bakal makin menyulitkan kehidupan rakyat.
Di Aru, perubahan RTRW yang sempat didorong Theddy Tengko, di mana terjadi alih fungsi sebagian besar status hutan dan lahan, masihlah sama. Izin-izin masih bisa terbit kalau status kawasan hutan tidak dikembalikan. Maka, rezim kepemimpinan Theddy masih meninggalkan celah yang menghantui Aru dengan peluang terhadap izin-izin konsesi baru.
Pada Oktober 2017, seorang pengusaha bernama Andi Syamsuddin Arsyad dikenal sebagai Haji Isam, tiba di Aru dengan pesawat pribadi bersama Andi Amran Sulaiman, saat itu Menteri Pertanian, di belakangnya. Mereka dikabarkan sebagai saudara sepupu yang sama-sama berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Haji Isam mulai dikenal di kalangan pengusaha melalui bisnis tambang batubara di Kalimantan Selatan. Sedangkan Amran sendiri, memulai bisnis dengan memproduksi racun tikus. Sejak itu, dia memperluas usaha ke sektor perkebunan dan pertambangan.
Mereka datang ke Aru untuk proyek ternak. Izin awal keluar pada Juli 2019 oleh Johan Gonga selaku Bupati Kepulauan Aru yang usai dilantik. Lokasi proyek di tempat tinggal Mama Anatje Siarukin dan Mama Dolfince Gaelagoe, dua tokoh perempuan adat yang memainkan peran strategis dalam gerakan Save Aru.
Pada Agustus, kedua mama ini menjadi berada di garis depan dengan mengirimi surat kepada Kepala Staf Kepresidenan RI, Komnas HAM, dan KLHK. Mereka menduga sang bupati telah melanggar hak mereka dengan mengeluarkan izin itu.
Masyarakat Aru masih berjuang untuk memperbaiki nasib mereka terkait dengan akses lebih baik terhadap ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Tetapi, para veteran gerakan Save Aru masih bertahan dengan keyakinan bahwa pasti ada pola berbeda yang bisa dikembangkan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka tanpa merusak apa yang sudah mereka miliki dan rawat secara turun temurun.
“Kita butuh sesuatu yang jauh lebih menjanjikan bagi kehidupan masyarakat Aru, dengan tidak merusak lingkungan,” kata Collin Leppuy.
Gerakan Aru pun bisa jadi pembelajaran bagi dunia untuk melihat persinggungan antara persoalan pembangunan dan lingkungan.
Berbagai artikel, foto, maupun video yang diproduksi oleh The Gecko Project, tersedia juga pada media sosial kami, antara lain Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Kamu juga bisa terhubung dengan kami melalui milis (mailing list) di sini. Rangkaian kisah The Gecko Project dapat dibaca dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.