- Ketika Abdon Nababan, seorang aktivis yang begitu vokal dalam menyuarakan hak masyarakat adat di Indonesia, maju sebagai calon independen dalam bursa pencalonan kepala daerah untuk kursi gubernur di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), ia dihadapkan pada hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yaitu, cara kerja dari sistem politik elektoral yang begitu korup.
- Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Mongabay dan The Gecko Project, Abdon menjelaskan rintangan paling berat yang harus ia atasi sebagai bakal calon gubernur. Para kandidat, termasuk Abdon Nababan, yang menolak untuk terlibat dalam praktik korupsi dan politik uang, justru berada pada posisi yang sangat tidak diuntungkan.
- Pada kisah-kisah “Indonesia Dijual” yang telah diulas oleh Mongabay dan The Gecko Project sebelumnya, kami telah menyelidiki secara mendalam tentang situasi demokrasi di negeri ini yang sedang diliputi kemelut akibat beban korupsi terkait dengan industri perkebunan.
- Pada tahun politik ini, jutaan pemilih akan kembali menentukan siapa yang kelak akan memimpin daerah mereka masing-masing. Dan bayang-bayang terhadap carut marut persoalan Pilkada, masih menyelimuti sistem yang saat ini ada.
Sekitar Juli tahun lalu, Abdon Nababan, seorang aktivis senior di Indonesia, mengumumkan tekadnya untuk maju merebut kursi calon Gubernur Sumatera Utara (Sumut) — provinsi yang tak lain adalah tanah kelahirannya sendiri. Sebelumnya, Abdon dikenal sebagai Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), sebuah organisasi besar yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Di bawah kepemimpinannya selama satu dekade, Abdon telah sukses mengantarkan AMAN dan masyarakat adat pada berbagai prestasi gemilang. Kemenangan yang berhasil diraih itu mencakup pula berbagai terobosan hukum maupun keputusan pengadilan yang mengikis klaim negara terhadap wilayah adat. Ada begitu banyak tanah adat, termasuk hutan adat, yang sebelumnya dirampas dan digadaikan oleh politisi-politisi korup untuk kepentingan perusahaan perkebunan dan industri ekstraktif. Tentu saja, tak terkecuali, itu juga terjadi di Sumut. Dua gubernur terakhir di sana terjerat perkara korupsi.
Provinsi Sumut yang berpenduduk hampir 14 juta jiwa, merupakan salah satu benteng pertahanan penting bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia. Abdon Nababan adalah sosok yang ideal dalam banyak hal. Ia punya sepak terjang yang tak bisa diremehkan dalam urusan politik. Abdon dikenal sebagai aktivis yang karismatik, juru kampanye yang handal, melek media sosial, dan seorang pembaharu yang dilahirkan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pilkada di Sumut akan berlangsung di akhir bulan Juni ini. Tetapi, Abdon yang maju sebagai calon independen, tidak lolos. Kursi panas untuk Gubernur Sumut akan diperebutkan oleh dua kandidat yang wajahnya tak asing lagi di dunia politik. Salah seorang dari mereka adalah pensiunan jenderal, sedangkan lawannya berpasangan dengan pengusaha yang punya pengaruh dalam urusan sawit.
Pada akhirnya, fakta bahwa Abdon tidak dapat ikut bertarung dalam Pilkada Sumut, merupakan cerminan dari fenomena yang telah diselidiki oleh Mongabay dan The Gecko Project selama 18 bulan terakhir ini, yaitu peran uang dalam politik elektoral dan hubungannya dengan kepentingan bisnis yang destruktif. Hal tersebut telah menjadi penghambat bagi kemajuan demokrasi di Indonesia yang masih dalam proses pemulihan setelah lebih dari tiga dekade berada dalam cengkeraman kekuasaan militeristik Orde Baru. Untuk mendapatkan tiket untuk maju menjadi kandidat, Abdon mengutarakan kalau ia dihadapkan pada dua pilihan berat, antara lain menyuap orang-orang yang duduk di partai politik (parpol) dengan taksiran nilai mencapai jutaan dolar demi mendukung pencalonannya atau mengusulkan diri sebagai calon independen dengan pengumpulan tanda tangan dan salinan KTP sebanyak 800 ribu orang pemilih. Ia mengambil pilihan kedua. Dalam waktu kurang dari empat bulan, Abdon sukses mengumpulkan lebih dari setengah juta pendukung. Tetapi, itu belum cukup dan ia tak dapat memenuhi tenggat waktu yang terlanjur ditentukan.
Ketika Abdon berupaya untuk menggalang dukungan suara, saat itulah ia sekaligus diberikan peluang untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di dalam. Kepentingan bisnis dan politik sedang saling terjalin. Di sanalah korupsi kian merajalela menjelang detik-detik menuju perhelatan pesta demokrasi di Indonesia. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Mongabay dan The Gecko Project ini, Abdon menyajikan sekumpulan potret buram tersebut.
- Dia didekati oleh konsorsium bisnis yang menawarkan uang senilai Rp 300 milyar untuk pembiayaan kampanyenya.
- Transaksi tersebut mensyaratkan penyerahan kontrol kekuasaan terhadap alokasi anggaran dan lahan di Sumut.
- Para “juru kampanye” menjanjikan tambahan 300 ribu tanda tangan, sehingga ia dapat memenuhi syarat sebagai calon independen dengan biaya Rp 40 milyar.
- Abdon percaya bahwa kandidat-kandidat progresif sesungguhnya bisa maju sebagai calon independen jika diberikan periode waktu yang lebih panjang dan memiliki dukungan masyarakat sipil yang lebih besar.
- Ia pun percaya bahwa kandidat-kandidat progresif dapat menerapkan berbagai kebijakan nasional dan menginisiasi transparansi untuk menutup rapat-rapat peluang korupsi.
Wawancara dengan Abdon Nababan (diterjemahkan dari Bahasa Inggris)
Mongabay dan The Gecko Project: Mengapa Anda mencalonkan diri untuk maju sebagai Gubernur Sumut?
Abdon Nababan: Pertama, karena mereka — kelompok masyarakat adat, petani, dan aktivis di Sumut — meminta saya untuk maju. Kedua, karena Sumut saat ini adalah salah satu (provinsi) yang terburuk di Indonesia dalam hal tata kelola pemerintahan. Sumut berada pada indeks kebahagiaan paling rendah, hampir sama dengan Papua. Ada korupsi dan mafia tanah. Jadi alasan kedua itu karena memang ada persoalan. Saya ingin melakukan sesuatu yang berbeda di Sumut. Ketiga, karena itu adalah rumah saya, tanah leluhur saya. Maka, saya punya alasan pribadi untuk melakukan hal-hal baik di tanah saya sendiri.
Siapa itu “mafia tanah”?
Ada beberapa kelompok keluarga di Medan yang memegang kontrol transaksi lahan. Mereka bekerja dengan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda), paramiliter sipil (kelompok masyarakat sipil yang bersifat kemiliteran). Hampir semua mafia terhubung dengan organisasi tersebut. Mereka menguasai pasar dan mengendalikan birokrasi yang terkait dengan lahan. Mereka mengontrol sistem pengalihan lahan dari masyarakat (termasuk masyarakat adat), bahkan tanah negara, menjadi real estate atau zona khusus untuk industri dan lainnya. Mereka adalah organisasi kriminal.
Kita bicara tentang transaksi lahan dalam skala besar, termasuk real estate. Lalu, apakah itu termasuk proyek-proyek perkebunan raksasa?
Ya. Ya.
Anda memilih untuk maju sebagai calon independen. Apa pengalaman yang telah Anda alami selama proses untuk menjadi kandidat?
Saya memilih untuk maju sebagai calon independen karena saya bukan orang parpol (partai politik). Jadi itu adalah satu-satunya jalan bagi saya untuk maju. Dan itu cara termurah. Seandainya saya masuk melalui kendaraan parpol, itu membutuhkan uang yang sangat besar. Karena, memang hampir semua parpol di Indonesia tidak berlandaskan pada ideologi. Mereka berlandaskan pada politik yang transaksional.
Itu artinya apakah Anda harus membayar mereka untuk menjadi kandidat?
Ya. Anda harus membayar parpol. Bahkan, jika Anda sendiri adalah anggota parpol, Anda tetap harus membayar. Seperti itulah sistem bekerja.
[Catatan editor: Secara halus, hal itu disebut dengan ‘mahar politik.’ Faktanya, berbagai parpol di Indonesia mengenakan biaya yang terlampau besar untuk mendukung para calon kandidat agar bisa maju ke dalam bursa pertarungan politik elektoral di daerah. Praktik tersebut terus berlanjut karena sangat kecil peluangnya, bahkan begitu sulit, bagi calon independen untuk dapat ambil bagian. Para calon gubernur dan bupati atau walikota harus mengantongi dukungan parpol dengan jumlah paling sedikit sebesar 20 persen kursi di parlemen lokal.]
Apakah pihak parpol mencoba mengendalikan kandidat dengan cara lain?
Ya, karena pihak parpol juga menempatkan operator mereka (juru kampanye) untuk mengendalikan alokasi anggaran, proyek, dan segalanya. Jadi jika Anda mau sungguh-sungguh membuat suatu perubahan, satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan itu adalah dengan mencalonkan diri melalui jalur independen.
Bagaimana Anda bisa maju sebagai calon independen?
Untuk bisa maju menjadi kandidat, Anda harus mendapatkan tanda tangan dari pendukung Anda (pemilih). Jumlahnya mencapai 800 ribu tanda tangan (dan salinan KTP) untuk Sumut. Tentu saja, saya tidak bisa meraihnya. Saya hanya mendapatkan sekitar 560 ribu tanda tangan. Tantangan untuk pencalonan saya adalah waktu yang terlalu singkat. Mereka meminta saya untuk mengumpulkan dukungan sebanyak itu hanya dalam waktu empat bulan sebelum pendaftaran. Kami (saya dan para pendukung) bekerja keras selama tiga setengah bulan. Jika kami diberikan waktu selama enam bulan, kami mungkin bisa mencapai target karena ada semakin banyak pemilih yang kemudian ingin benar-benar mendukung saya. Tetapi, kami tidak memiliki cukup waktu untuk mengembangkan sistem pengelolaan (berbasis pendukung) terhadap bagaimana cara mendapatkan tanda tangan, menyalin KTP, dan mendaftarkannya (dokumen tanda tangan dan KTP) berdasarkan sistem yang diterapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dari pengalaman itu, saya yakin, seandainya pun Anda ingin maju sebagai calon independen, maka Anda setidaknya membutuhkan waktu satu tahun. Saat itu, popularitas dan elektabilitas saya secara konsisten terus meningkat. Itu memberikan saya suatu keyakinan bahwa memang ada peluang untuk maju lewat jalur independen. Tetapi, kita perlu bekerja keras dan mengelola itu dengan baik. Jadi, ya, itu sangat mungkin, tapi tetap tidak mudah.
Bagaimana caranya Anda mengumpulkan tanda tangan dan salinan kartu identitas?
Saya telah bekerja dengan masyarakat adat dan juga gerakan sosial di Prov. Sumut selama hampir 20 tahun. Memang tidak secara intensif, tetapi saya terus memberikan dukungan kepada mereka. Dan sudah ada sejumlah organisasi lokal yang memiliki infrastruktur untuk mendukung keseluruhan proses. Namun, itu tak cukup. Jika kita (calon independen) mau bertarung tanpa infrastruktur dari organisasi-organisasi pendukung tersebut, mungkin dibutuhkan modal hingga Rp 20–30 milyar. Sementara itu, (dengan dukungan mereka) saya hanya menghabiskan uang sekitar Rp 400 juta.
Bagaimana Anda mengumpulkan dana?
Saya mengumpulkan uang dari anggota organisasi (masyarakat sipil). Tak hanya dari Sumut, tapi juga dari seluruh tempat di Indonesia. Teman-teman dari masyarakat sipil ikut mendukung saya secara pribadi. Dan tentu saja, semua relawan memodali diri mereka sendiri (untuk mendukung dan menggalang dukungan). Itulah mengapa saya tidak memerlukan banyak uang untuk membayar para pendukung saya. Mereka tidak dibayar. Semua itu dilakukan secara sukarela.
Apakah normal dalam dunia politik di Indonesia di mana relawan bekerja tanpa dibayar?
Tidak, itu tidak normal. Pastinya, mereka (para kandidat lain) memiliki relawan, tetapi mereka membayar (untuk modal kampanye dan gaji para juru kampanye).
Apakah ada masyarakat atau kelompok tertentu yang menawarkan untuk menjual tanda tangan bagi kampanye Anda?
Oh, ya! Politik adalah bisnis. Jika Anda ingin maju sebagai calon independen, Anda bisa saja ‘membeli’ KPU. Ketika saya sedang mencoba mendapatkan nomor untuk pencalonan saya, ada oknum yang mendatangi saya untuk menawarkan bantuan. Yang perlu saya lakukan adalah memberi uang kepada mereka untuk membeli (tanda tangan dan salinan KTP). Jadi, saya punya peluang maju sebagai kandidat seandainya saya membayar. Ini bisnis.
Berapa banyak yang mereka minta?
Untuk sekitar 300 ribu KTP, oknum tersebut meminta pada saya sekitar Rp 40 milyar. Itu sudah beres dan Anda tak usah repot melakukan apa pun. Merekalah yang akan mengurus tanda tangan dan semuanya.
Apakah ada juga pebisnis yang mendekati Anda dan menawarkan untuk memodali kampanye Anda?
Oh, ya! Satu bulan setelah saya mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon Gubernur Sumut, survei membuktikan bahwa nama saya populer. Tiga orang datang kepada saya untuk menawarkan suatu ‘kerja sama.’ (Mereka) meminta saya untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon independen. Mereka bilang kalau mereka bisa memberi saya dukungan lewat jalur parpol. Mereka akan bekerja untuk saya dan memberi saya uang Rp 300 milyar. Pada saat itu, saya berkata tidak. Saya tetap maju sebagai calon independen. Saya hanya butuh sekitar Rp 7 milyar. Cuma Rp 7 milyar dan saya akan menang. Tetapi, mereka tidak menyukai gagasan tersebut. Mereka ingin saya maju dengan kendaraan parpol.
Siapa mereka?
Mereka menyebut diri mereka ‘bandar.’ Investor-investor politik. Mereka yang membayar segalanya. Mereka bisa ‘membeli’ Anda. Mereka akan menyediakan apa saja. Dan kemudian Anda dapat membalas apa yang telah mereka bayar dengan berbagai izin dan proyek. Sebetulnya, merekalah yang akan mengendalikan semua di pemerintahan Anda. Itu praktik umum yang terjadi selama ini karena mahalnya biaya politik. Saya pernah mencoba untuk menggali informasi tentang dari mana mereka berasal. Siapa yang ada di balik itu? Saya sampai pada kesimpulan awal bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari sektor perkebunan sawit, pertambangan, dan juga bisnis properti. Mereka membentuk konsorsium (yang terdiri dari sekelompok orang) yang memiliki beragam kepentingan di Sumut. Saya pikir mereka datang bukan hanya kepada saya, (tetapi) mereka pun mencoba melakukan hal yang sama kepada para kandidat lain.
Jadi, mereka ingin Anda menandatangani kontrak dengan parpol?
Iya. Karena sebenarnya mereka juga berurusan dengan parpol. Mereka tidak memiliki parpol, tetapi mereka akan pergi mendekati parpol dan berkata, ‘Kami membayar untuk dia (sebagai kandidat). Dia adalah pilihan yang baik dan lebih mudah untuk mendukungnya berkuasa (sebagai pemimpin daerah).’ Mereka akan berjalan di antara parpol dan kandidat. Jadi, parpol mendapat untung dan kandidat pun memperoleh keuntungan karena telah mengamankan proses pencalonannya. Tetapi, semua transaksi di antara keduanya akan dilakukan melalui para mafia. Seandainya Anda menyelidiki lebih lanjut, Anda akan menemukan sosok siapa yang bertanggung jawab atas semua itu.
Gerakan progresif di Indonesia, termasuk gerakan lingkungan, masyarakat adat, dan anti-korupsi, telah meraih banyak keberhasilan. Tapi, tampaknya ada banyak hal juga yang harus dikedepankan. Menurut Anda, apakah langkah yang perlu dilakukan ke depannya adalah mencoba untuk merebut posisi di dalam proses pengambilan keputusan (masuk ke dalam pemerintahan)? Atau, apakah menurut Anda ada hal lain yang perlu dilakukan di luar pemerintahan?
Dari luar pemerintahan, Anda hanya bisa memberikan tekanan. Tetapi, di dalam politik itulah (Anda akan menemukan) sumber persoalan untuk Reformasi saat ini (setelah berakhirnya rezim otoriter Orde Baru) berasal dari partai-partai politik. Sebab, partai-partai politik tidak benar-benar bekerja untuk politik itu sendiri. Mereka tidak memiliki ideologi.
Apakah menurut Anda, tanpa merebut jabatan politik, gerakan progresif di Indonesia telah mencapai batas dari apa yang bisa dicapainya? Atau, apakah justru gerakan progresif masih bisa terus maju ke depan dengan tetap berada di luar pemerintahan?
Tujuannya adalah untuk membuat isu-isu gerakan sosial menjadi politis. Dan sekarang di Sumut, bahkan dalam debat politik di televisi, mereka membicarakan tentang hak masyarakat adat. (Moderator debat politik di televisi) bertanya pada para kandidat tentang komitmen mereka untuk apa yang sejauh ini telah saya kampanyekan. Jika mereka gagal melakukan itu, ada peluang dalam waktu lima tahun dari sekarang (Pilkada berikutnya) untuk menantang mereka dengan persoalan yang sama.
Menurut Anda, seandainya seorang kandidat yang progresif bisa menduduki jabatan politik (kepala daerah), mereka akan mempunyai kekuatan untuk mengubah sistem yang ada sekarang, yakni sistem yang oligarki, yang mengutamakan kepentingan perusahaan, dan yang penuh korupsi terhadap eksploitasi SDA dan perizinan?
Iya. Sesungguhnya, mereka memiliki kekuatan. Mungkin tidak untuk mencabut izin-izin, tetapi membuat sistem yang terbuka. Untuk mengekspos siapa mengontrol apa dan bagaimana mereka mengendalikannya. Jadi, kita tak perlu langsung menghadapi para mafia. Bangun saja sistemnya, sehingga tidak ada tempat bagi mereka untuk main-main. Dan biarkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengurus sisanya (sesui tugas dan fungsinya). Kita pun tidak perlu melakukannya dengan cara yang kontroversial. Karena semuanya ini sebetulnya tentang data.
Menurut Anda, apakah reformasi sistem itu diperlukan agar para kandidat progresif punya peluang menduduki jabatan? Atau, apakah dibutuhkan lebih banyak pengawasan oleh NGO (organisasi non-pemerintah) dan jurnalis (media) terhadap bagaimana suatu sistem dapat bekerja saat ini, sehingga itu dapat mendukung para kandidat progresif untuk bisa maju?
Sistem baru yang ada di tingkat nasional, bisa digunakan. Contohnya, Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Atau, Anda dapat menggunakan agenda Reforma Agraria yang diusung oleh KSP (Kantor Staf Presiden). Tetapi, semua kebijakan nasional ini belum berfungsi di level bawah. Anda harus (menggunakan) semua ‘barang’ bagus itu di satu wilayah tertentu, misalnya Sumut. Seperti halnya tinjauan terhadap perizinan. (Catatan: Pemerintah Pusat baru-baru ini melakukan peninjauan secara besar-besaran terhadap izin pertambangan di seluruh Indonesia yang berujung pada pembatalan ribuan izin. Inisiatif yang sama juga sedang dilakukan di sektor perkebunan sawit.) Ada Keputusan Presiden (Kepres) tentang hal itu. Maka, cukup terapkan itu di provinsi Anda! Tinjau lagi izin-izin yang ada dan kemudian buka semua izin tersebut melalui website. Dan, undang masyarakat untuk melaporkan apa yang terjadi selama ini terkait dengan keberadaan semua izin tersebut. Anda (sebagai kepala daerah) memiliki dasar hukum untuk melakukan itu.
Menurut Anda, generasi pemimpin progresif berikutnya akan datang dari mana? Apakah mereka akan muncul dari orang-orang yang berasal dari sektor NGO atau organisasi masyarakat sipil yang sudah memahami apa yang terjadi? Atau, justru sebaliknya?
Karena mahalnya biaya politik, maka sulit untuk mendapatkan pemimpin yang baik dari sektor organisasi masyarakat sipil atau organisasi non-pemerintah. Cara yang relaistis adalah dengan mendapatkan pemimpin baru yang tak lain ialah pengusaha progresif, seperti Jokowi. Mereka (para pengusaha progresif) tahu bagaimana bisnis dan politik bekerja. Seorang aktivis seperti saya, tahu bagaimana cara kerja pemerintah, tetapi kami tidak tahu bagaimana uang bekerja dalam sistem politik.
Menurut Anda, seberapa besar pengaruh perusahaan terhadap politik itu dapat menjadi penghambat perubahan? Seandainya tak banyak politisi yang punya kedekatan dengan perusahaan yang mengeksploitasi suatu wilayah, apakah kemudian akan ada lebih banyak wilayah adat yang diakui oleh negara?
Bahkan, kandidat yang berasal dari masyarakat adat sendiri, bisa terjebak ke dalam sistem itu. Mereka berusaha mengubah berbagai hal, tetapi sangat kecil. Jika kita punya uang sebagai suatu gerakan untuk mendukung kandidat-kandidat tertentu, mereka akan membuat perubahan nyata, contohnya di (Kabupaten Kepulauan) Mentawai. Tetapi, kami juga tahu bahwa mereka juga mendapat dukungan dari sektor bisnis.
Apakah ada cara untuk mendapat dukungan dari sektor bisnis dengan cara yang tidak korup? Orang-orang yang mendekati Anda sendiri ingin memberikan Anda uang dengan balas jasa berupa izin-izin perusahaan dan itu Anda tolak. Adakah cara agar bisnis dapat mendukung seorang kandidat dengan cara yang tidak kotor?
Itu yang ingin saya usahakan. Saya ingin mengumpulkan uang dari perusahaan yang sejalan dengan visi saya. Pariwisata, ekonomi kreatif. Saya ingin bereksperimen sebab sebagian besar uang yang masuk ke politik saat ini berasal dari bisnis kotor, seperti sawit, pertambangan, dan lahan. Tidak ada uang dari … AirAsia atau Agoda, Anda tahu kan? Saya bukan anti-korporasi. Tapi, saya menentang bisnis kotor. Melalui politik, kita dapat mengubah ‘pemain,’ dari pembangunan yang merusak hingga pembangunan berkelanjutan. Tetapi sekarang, pembangunan yang destruktif itulah yang mengendalikan politik. Kita harus mengidentifikasi siapa yang akan mendukung pembangunan berkelanjutan. Itu idenya.
Penelitian memperlihatkan bahwa lebih sulit bagi seorang kandidat progresif di Indonesia untuk menerobos daerah perdesaan (ketimbang perkotaan) di mana tingkat pendidikan lebih rendah dan ekonomi mungkin terkonsentrasi di satu sektor. Menurut Anda, adakah yang bisa dilakukan untuk membantu kandidat progresif menerobos area itu?
Dalam situasi tersebut, — mengacu pada apa yang saya alami — itu justru lebih mudah bagi AMAN. Tetapi, AMAN harus berinvestasi dalam memperkuat organisasi (di tingkat lokal). Sebab, kita hanya harus melewati rintangan untuk menjadi kandidat. Jika Anda telah menjadi kandidat dan berasal dari gerakan, maka Anda akan menang. Jadi, itu alasan saya mengatakannya untuk waktu yang lama kepada teman-teman. Fokus saja pada pencalonan!
Sepertinya apa yang telah Anda lalui akan dapat menginspirasi banyak orang untuk mau maju mencalonkan diri.
Ya. Itulah pembelajaran yang telah saya pelajari.
Lalu, apa rencana ke depannya?
Mereka (kelompok masyarakat adat dan aktivis) meminta saya untuk maju di Provinsi Banten. Kami masih mempertimbangkan hal itu. Termasuk, strategi apa yang bisa diambil jika saya terpilih menjadi anggota legislatif. Tantangannya adalah bagaimana kami dapat mengoptimalkan upaya-upaya kami di parlemen. Jadi, sekarang kami mempunyai satu atau dua atau tiga pilihan. Tetapi, saya belum tahu apa yang paling strategis bagi saya.
Wawancara ini telah diklarifikasi dan diedit sesuai dengan kebutuhan.
Artikel ini dibuat oleh The Gecko Project dan Mongabay sebagai bagian dari “Indonesia Dijual,” sebuah seri reportase mendalam tentang korupsi di balik persoalan deforestasi dan krisis agraria di Indonesia. Silakan membaca dua hasil investigasi utama kami, yaitu “Kerajaan kecil sawit” dan “Tangan-tangan Setan Bekerja.” Cerita lainnya juga dapat dibaca di sini.
Untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami, silakan terhubung dengan Facebook Mongabay dan The Gecko Project atau kunjungi situs The Gecko Project dalam versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.