Apakah Indonesia telah siap untuk betul-betul memberikan perspektif baru terhadap jalan alternatif bagi pembangunan yang berkelanjutan?
Ketika sejumlah pejabat pemerintah mendapatkan dugaan yang kredibel terhadap pemalsuan izin yang melandasi sebuah proyek perkebunan sawit berskala raksasa di Provinsi Papua, langkah lanjutan yang mungkin dapat diupayakan adalah mendorong penyelidikan tindak pidana.
Ada konsekuensi yang amat besar dari hal itu. Proyek yang dikenal dengan nama Tanah Merah tersebut, kelak dapat berujung pada penghancuran kawasan hutan yang setara dengan empat kali luas daratan DKI Jakarta. Kehadiran perkebunan sawit pun turut mempengaruhi kehidupan ribuan warga Masyarakat Adat Papua. Jika dugaan pemalsuan itu ternyata terbukti, maka artinya telah terjadi penipuan terhadap pemerintah sendiri.
Namun, seperti yang sudah diutarakan dalam publikasi yang dikeluarkan oleh The Gecko Project dan Mongabay sepekan yang lalu, pemerintah malah membiarkan Proyek Tanah Merah terus berjalan. Para pejabat sendiri telah membuat kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan terkait, sehingga membuka kembali pintu terhadap kelanjutan pembukaan hutan. “Itu sudah selesai,” ucap seorang pejabat yang terlibat kepada kami.
Kasus tersebut merupakan potret dari pergulatan prioritas kepentingan pemerintah yang terjadi di kamar gelap. Di satu sisi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berjanji untuk memperbaiki urusan persawitan yang selama ini lebih banyak terjerat pada persoalan ilegalitas dan korupsi. Industri perkebunan sawit yang bermasalah pun turut memberikan kontribusi yang memperburuk laju penggundulan hutan dan pelepasan emisi gas rumah kaca. Sementara di sisi lain, Jokowi juga berniat untuk “membangun” Indonesia dari pinggiran, termasuk daerah-daerah terpencil.
Terkait dengan Proyek Tanah Merah, sedikitnya terdapat tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (KemenATR), yang menutup mata terhadap dugaan tindak pidana yang memberikan dampak luar biasa besar terhadap aspek lingkungan. Hal itu dilakukan demi melindungi investasi.
Pemerintah Indonesia telah sejak dulu bergelut untuk mengupayakan tata kelola perusahaan perkebunan dan pertambangan. Berbagai studi pemerintah pun sudah menunjukkan betapa luasnya skala pengembangan perkebunan sawit yang dilakukan tidak sesuai prosedur formal.
Tahun ini, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan bahwa ada lebih dari 80 persen perkebunan besar yang tidak mematuhi peraturan. Penyelidikan lain juga menunjukkan bahwa seperlima dari perkebunan besar itu, beroperasi secara ilegal di kawasan hutan.
Di bawah kepemimpinan Jokowi, pemerintah mengklaim bahwa berbagai hal telah bergerak menuju arah yang berbeda, termasuk terobosan pada kebijakan. Akan tetapi, carut marut pada urusan persawitan, salah satunya juga disebabkan oleh lemahnya regulasi pada sektor tersebut. Selama ini, masalah kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun pun disebut-sebut memiliki keterkaitan yang erat dengan perusahaan perkebunan sawit. Tahun 2018 lalu, Jokowi telah memerintahkan kementerian terkait untuk melakukan tinjauan hukum terhadap seluruh izin perkebunan sawit.
Meski begitu, dalam rapat-rapat internal pemerintah yang membahas tindak lanjut pada temuan izin-izin yang diduga dipalsukan itu, kebijakan peninjauan hukum terkait sawit pun berperan sangat terbatas. Maka, pertimbangan yang diambil justru mengacu pada regulasi lain yang menitikberatkan pada kepentingan investasi.
Keputusan yang diambil akhirnya kian membingungkan — sekaligus memprihatinkan — sebab Proyek Tanah Merah berlokasi di kawasan paling timur Indonesia, yaitu Papua.
Wilayah Papua yang terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, merupakan lokasi di mana kita dapat menemukan sepertiga luasan hutan yang tersisa di Indonesia. Pada Oktober lalu, masing-masing gubernur dari kedua provinsi itu mengucapkan komitmennya untuk melindungi 70 persen kawasan mereka dan menyelamatkannya dari incaran aktivitas berskala industri yang selama ini sudah membinasakan hutan di berbagai tempat di Indonesia.
Komitmen tersebut tertuang pada Deklarasi Manokwari sebagai suatu manifesto terhadap visi terkait keberlanjutan untuk masa depan di mana hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya harus dilindungi bersamaan dengan penguatan hak-hak Masyarakat Adat. Pembangunan akan dilakukan tanpa meninggalkan jejak-jejak seperti di daerah lain yang menyisakan kerusakan dan dipenuhi berbagai perilaku yang eksploitatif.
Tentu saja, taruhannya besar. Jika semangat deklarasi itu berhasil dijalankan, maka Indonesia akan bisa menjaga salah satu bentangan belantara yang terluas sekaligus yang tersisa di bumi ini. Kontribusi dari kelangsungan hutan di Papua juga terkait langsung dengan komitmen Indonesia terhadap laju emisi gas rumah kaca yang terikat melalui Paris Agreement atau Persetujuan Paris mengenai perubahan iklim. Jika upaya melindungi keterancaman hutan di Papua itu gagal, maka Indonesia pun terancam tak akan mampu mencapai kontribusi target menahan laju peningkatan pemanasan global.
Melalui Deklarasi Manokwari, pemerintah setempat menyatakan komitmen untuk mengakomodir 70 persen luas daratan menjadi kawasan Hutan Lindung. Selain itu, hal yang juga menjadi sorotan adalah komitmen kepala daerah terhadap penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Aspek hukum dianggap menjadi faktor pendukung yang sangat penting dalam menentukan suksesnya kebijakan tersebut. Tanpa itu, maka perlindungan kawasan hutan dan hak masyarakat adat, bisa jadi tak akan punya arti.
Karena alasan itulah, Proyek Tanah Merah tidak hanya akan menciptakan lubang raksasa di antara hamparan hutan yang luas di Tanah Hitam Papua maupun dampak buruk lain yang jauh lebih besar lagi. Tetapi, penentu yang akan menegaskan sejauh mana implementasi Deklarasi Manokwari dapat dijalankan. Apakah Indonesia, khususnya Papua, telah siap untuk betul-betul memberikan perspektif baru terhadap jalan alternatif bagi pembangunan yang berkelanjutan?